BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hakikat manusia dipandang
dari sisi penciptaannya adalah makhluk yang paling sempuran dibanding dengan
makhluk lainnya. Hal ini karena manusia dibekali dengan akal sedangkan makhluk
lainnya tidak dibekali oleh akal. Dengan bekal ini, manusia akan selalu
berpikir tentang kelangsungan hidup dan generasinya. Dengan akal, manusia akan
selalu berusaha untuk menemukan berbagai cara untuk survive, baik untuk
dirinya sendiri maupun keturunan atau generasinya. Dengan akal pula manusia
akan senantiasa untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik fisik maupun non
fisik yang berlangsung secara alami.
Namun akan berbeda
sekali dengan makhluk ciptaan lainnya dalam hal ini adalah hewan atau binatang.
Dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang
bertentangan dengan alam pikiran manusia. Hewan atau
binatang hanya dibekali dengan insting saja, sehingga dalam berperilaku hewan
tidak berpikir namun hanya mengandalkan insting belaka. Hewan tidak akan
berpikir bagaimana cara untuk meningkatkan, mengembangkan dan cara mempertahankkan
kehidupannya dimasa-masa yang akan datang. Insting mereka hanya bagaimana
mereka dapat bertahan hidup untuk saat ini saja.
Manusia tidak dapat
disamakan dengan hewan. Ketika manusia baru dilahirkan ke
dunia, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup. Manusia
dilahirkan sebagai makhluk hidup yang tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke
dunia perlu mendapatkan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan
hidup dan kehidupannya (Uyoh Sadulloh: 2021). Untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka manusia perlu didik dan mendapatkan pendidikan selama hidupnya. Berbeda
dengan bayi binatang atau hewan yang baru dilahirkan ke dunia. Ada yang
langsung dapat bertahan hidup secara mandiri lepas dari bantuan induknya
sendiri. Mereka harus mencari makan sendiri dan bertahan hidup dari para
predatornya sesuai dengan instingnya. Ada juga yang perlu bantuan induknya
sampai benar-benar mampu hidup secara mandiri.
Manusia yang baru dilahirkan tidak memiliki insting untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Namun, manusia dapat dididik dalam suatu proses belajar yang
membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau
yang dikenal dengan pendidikan.
Menurut Uyoh Sadulloh (2021)
manyatakan bahwa manusia sebagai animal educandum, secara bahasa berarti
bahwa manusia merupakan hewan yang dapat didik dan harus mendapat pendidikan.
Dari pengertian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan antara manusia dan hewan. Perbedaan manusia dengan hewan ialah bahwa
manusia dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan
Pada dasarnya terdapat
dua alasan dasar mengapa manusia itu harus dididik/ mendidik. Alasan pertama adalah
dasar biologis dan alasan kedua adalah dasar sosio-antropologis. Dasar biologis
mengemukakan bahwa manusia lahir dengan kondisi yang tidak dilengkapi dengan
insting sempurna untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, manusia perlu
masa belajar yang panjang sebagai persiapan bersaing dalam lingkungan, serta
pendidikan itu dimulai ketika manusia sudah mencapai penyesuaian jasmani.
Dasar biologis ini
memberikan implikasi manusia memerlukan bantuan manusia dewasa untuk memberikan
perlindungan dan perawatan sebagai masa persiapan pendidikan, serta manusia
dewasa yang tidak berhasil dididik perlu melakukan reedukasi. Dasar
sosio-antropologis mengemukakan bahwa peradaban tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Dasar ini
memberikan implikasi terhadap keharusan dalam pendidikan, yaitu diperlukan
transformasi dari organisme biologis ke organisme berbudaya, diperlukan juga
transmisi dan internalisasi budaya.
Melalui pendidikan
manusia dapat mengembangkan dirinya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungannya. Pendidikan mengenalkan manusia pada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan kata lain, melalui pendidikan manusia dapat mengoptimalkan
potensi yang ada dalam dirinya.
Hakikat pendidikan bukan
terletak pada perbaikan keterampilan seperti pada hewan, melainkan kita
mendidik anak sehingga kepribadiannya merupakan integritas, merupakan kesatuan
jasmani rohani, dan dapat berperilaku yang bertanggung jawab. Kemampuan
bertanggungjawab memerlukan kemampuan memilih nilai-nilai, khususnya nilai
kesusilaan, nilai religi, sehingga dapat berbuah kebaikan (Uyoh Sadulloh :
2021).
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hewan tidak dapat
dididik dan tidak memungkinkan untuk menerima pendidikan, sehingga tidak
mungkin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Hanya manusialah yang dapat
dididik dan kemungkinan dapat menerima pendidikan karena manusia dilengkapi
dengan akal budi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pandangan Filosofis dan
Ahli Biologi tentang Manusia?
2.
Apa hakekat dan tujuan pendidikan
bagi manusia?
3.
Mengapa manusia harus dididik?
4.
Dapatkah manusia sebagai makhluk
hidup di didik?
5.
Apa saja aliran filasafat pendidikan
yang mendukung kemungkinan manusia dapat dididik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pandangan Filosofis dan
Ahli Biologi tentang Manusia
1.
Pandangan Filosofis tentang
Manusia
Pertanyaan filosofis tentang sosok manusia adalah “What is man, and
what of is man made?” (apa dan terbuat dari apa manusia itu?). Untuk
menjawab pertanyaan tersebut banyak filsuf dengan pandangan filsafatnya yang
memberikan batasan atau definisi tentang manusia.
Sigmund Freud (Yaya Suryana, 2019 : 44) berpandangan bahwa hakikat
manusia sebenarnya bisa ditinjau dari strukutur jiwa yang dimiliki yang terdiri
atas tiga hal, yaitu :
a.
Das Es
bagian dasar (the Id), terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah
kesengan dan kepuasan (lust principle), yang merupakan sumber nafsu
kehidupan, yaitu hasrat-hasrat biologis (libido-sexualis), bersifat
asadar, amoral, asosial, dan egoistis.
b.
Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari Das Es. Das Ich
dapat mengerti dunia asadar, asosial, dan amoral, lebih realistis, tetapi belum
ethis.
c.
Das Uber Ich (superego), yaitu bagian jiwa yang paling tinggi, paling sadar norma,
dan paling luhur. Bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia).
Superego atau Das Uber Ich selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral,
etika, dan relegius.
Selain itu dalam perkembangannya (Yaya
Suryana, 2019 : 44) terdapat perbedaan paham, antara lain sebagi berikut :
a.
Paham monoisme atau paham
materialisme memandang manusia hanya dari segi materi. Manusia tidak berbeda
dengan alam semesta yang serba materi. Manusia adalah yang tampak sebagi
wujudnya.
b.
Paham idealisme yang sering juga
disebut dengan paham rasionalisme atau spiritualisme, memandang manusia dari
aspek mentalnya, jasmani atau tubuh hanya merupakan alat jiwa untuk
melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, dan rasio)
manusia.
c.
Paham dualisme atau realisme yang
melihat realita sebagai sintesis dua kategori animate dan inanimate,
makhluk hidup dan makhluk mati. Dalam perkembangannya manusia menurut paham
ini, bahwa :
1)
Manusia adalah kesatuan antara
rohani dan jasmani, jiwa dan raga
2)
Manusia adalah totalisme, sebagai
satu individu dengan kepribadian yang unik, baik sebagai umat manusia
keseluruhan maupun sebagai satu pribadi.
3)
Paham ini mengakui adanya potensi
hereditas disamping realita lingkungan sebagai faktor luar.
2.
Pandangan Ahli Biologi
tentang Manusia
Yaya Suryana (2019) menjelaskan bahwa para
ahli biologi menyebut manusia adalah hewan yang berakal budi. Hal ini disebabkan dalam dunia hewan,
manusia digolongkan metazoa dengan phylum
chordata, subphylum-nya vertebrata termasuk dalam kelas mammalia
yang orde-nya primata, subordo antropoidea, keluarga dari hommonidea
dengan genus homo termasuk spesies sapiens. Wacana
seperti itu yang kemudian melahirkan bahwa manusia adalah makhluk biologis.
a.
Manusia disebut Makhluk Biologis
Manusia disebut
makhluk biologis karena memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata
lainnya, yaitu :
1)
Sebagian primata hidup di atas
pohon, hanya baboon dan manusia yang hidup di atas tanah;
2)
Anggota badannya mudah digerakkan,
terutama yang berusia muda;
3)
Jari-jari primata dapat memegang
benda kasar maupun benda halus, mencengkam, meraih, dan fungsi lainnya;
4)
Penglihatan primata lebih tajam,
tetapi penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya;
5)
Volume otak primata relatif lebih
besar daripada mamalia lainnya
b.
Manusia sebagai Makhluk Biologis
Manusia sebagai
makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya diberi berbagai
macam-macam sebutan, yaitu :
1)
Manusia disebut homo sapiens,
yaitu dikategorikan sebagai bagian dari zoology (ilmu hewan) yang dapat
menggunakan sifat dan kemampuan berfikir secara bijaksana sehingga manusia juga
disebut sebagai makhluk rasional.
2)
Manusia disebut homo faber
karena manusia mampu menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan
mempergunakan alat.
3)
Manusia disebut homo loquens,
yaitu makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi sosial.
4)
Manusia disebut homo sosialis,
karena sifat dan kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat).
5)
Manusia disebut homo economicus,
karena menggunakan sifat dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
6)
Manusia disebut homo relegiousus,
karena memiliki sifat dan kemampuannya untuk berfikir dan menyadari adanya
kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya).
7)
Manusia disebut homo delegans,
karena sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain
dan menyadari keterbatasannya.
8)
Manusia disebut homo legatus,
karena sifat dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi
berikutnya.
9)
Manusia disebut artis creator,
karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan (estetika).
B.
Hakekat dan Tujuan Pendidikan
Bagi Manusia
1.
Hakekat Pendidikan Bagi
Manusia
Salah satu pengertian yang sangat umum
tentang pendidikan dikemukan oleh Driyarkara (dalam Agus Taufik, 2011: 1.3)
yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda.
Pengangkatan manusia muda ke taraf insani harus diwujudkan di dalam seluruh
proses atau upaya pendidikan.
Moh. Ghufron (2017 : 76) mendefinisikan
pendidikan adalah upaya yang sadar dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
individu agar dapat menentukan kehidupan secara mandiri. Pendidikan dalam arti luas
adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala hal lingkungan
dan sepanjang hidup atau segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan
individu. Sedangkan definisi pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau
pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan
remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan
kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan serta tugas sosial mereka.
Definisi lebih spesifik tentang pendidikan tertuang dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa :
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat, bangsa dan negara
Sedangkan hakikat pendidikan, Yaya Suryana dan Rusdiana (2019: 69)
dalam bukunya menjelaskan bahwa :
Hakikat Pendidikan
pada dasarnya adalah upaya manusia untuk mempertahankan kehidupannya yang tidak
hanya berkelanjutan keberadaan fisik atau raganya, tetapi juga keberkelanjutan
kualitas jiwa dan peradabannya dalam arti terjadi peningkatan kualitas
budayanya, baik pendidikan yang dilaksanakan secara alami oleh orang tua kepada
anak atau masyarakat kepada generasinya maupun pendidikan yang diselenggarakan
oleh organisasi pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah sekolah, baik
formal maupun non formal. Dengan demikian pendidikan berlangsung seumur hidup
atau long-life education.
Moh. Ghufron (2017 : 72) menyebutkan tentang hakekat pendidikan, yaitu:
1.
Pendidikan merupakan proses
interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan sebjek didik
dengan kewibawaan pendidik.
2.
Pendidikan merupakan usaha
penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan semakin
pesat.
3.
Pendidikan meningkatkan kualitas
kehidupan pribadi dan masyarakat.
4.
Pendidikan berlangsung seumur
hidup.
5.
Pendidikan merupakan kiat dalam
menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan
manusia seutuhnya.
2.
Tujuan Pendidikan Bagi
Manusia
Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari
falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perorangan maupun kelompok. Tujuan
pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar (fundamental), karena dari tujuan
itulah akan menentukan ke arah mana manusia akan dibawa. Tujuan pendidikan
biasanya dirumuskan dalam bentuk tujuan akhir (ultimate aims of education).
Secara umum tujuan pendidikan adalah kematangan dan integritas pribadi, ada
pula yang merumuskan dengan kata kesempurnaan (perfection) (Yaya
Suryana, 2019 : 74).
Dalam menentukan tujuan pendidikan ada
beberapa nilai yang perlu diperhatikan, seperti yang dikemukakan oleh Hummel
(dalam Uyoh Sadulloh, 2021: 73-74) antara lain :
1.
Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum
kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama
dalam kehidupan yang lebih baik.
2.
Equity
(keadilan), berarti tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada
seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya
dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama.
3.
Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu
pengetahuan, John Locke (Yaya Suryana, 2019 : 74) mengemukakan beberapa tujuan
pendidikan, yaitu sebagai berikut :
1.
Pendidikan bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa).
2.
Pendidikan bertujuan untuk mencapai
kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan
tingkatannya.
3.
Pendidikan juga menyediakan
karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan
bertanggung jawab.
4.
Pendidikan menjadi sarana dan
usaha untuk memelihara dan memperbaharui sistem pemerintahan yang ada.
C.
Mengapa Manusia Harus
Dididik
Memperhatikan tentang konsep manusia,
hakekat dan tujuan pendidikan, ada beberapa asumsi yang memungkinkan manusia
harus dididik dan memperoleh pendidikan (Uyoh Sadulloh, 2021: 96-102), yaitu :
1.
Manusia dilahirkan dalam keadaan
tidak berdaya.
Manusia begitu lahir ke dunia perlu mendapatkan uluran
orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.
2.
Manusia lahir tidak langsung
dewasa.
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan
pendidikan secara khusus, memerlukan waktu yang lama. Untuk mengarungi kehidupan
dewasa, manusia perlu disiapkan. Persiapan tersebut dapat diperoleh dengan
pendidikan, di mana orang tua atau generasi tua akan mewariskan pengetahuan,
nilai-nilai, serta keterampilannya kepada
anak-anaknya atau generasi berikutnya.
3.
Manusia pada hakekatnya adalah
makhluk sosial.
Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup
bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, dimanapun dibesarkan,
tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dilingkungan
anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena
setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan
seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.
4.
Manusia sebagai makhluk individu
yang berdiri sendiri.
Pengertian makhluk sosial tidak berarti bahwa individu
(perorangan) tidak ada. Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia hidup
bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri. Ia masih tetap berdiri sendiri,
namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup adalah hidup antara
pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak berarti bahwa
individu itu luluh menyatu dengan yang lain. Manusia hidup bersama, namun tetap
secara individu dan individu.
5.
Manusia sebagai makhluk hidup yang
dapat bertanggungjawab
Seorang manusia harus mampu bertanggungjawab atas segala
perbuatannya. Setiap tindakan manusia membawa akibat, dan sering kali akibat
itu menimpa orang lain. Seekor hewan kalau berbuat sesuatu tidak akan mengerti
akibat yang timbul dari tindakan tersebut karena hewan tak mampu berpikir, dan
tindakannya hanya berdasarkan oleh insting belaka.
6.
Sifat manusia dan kemungkinan
terjadinya pendidikan.
Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip dengan
pendidikan, namun itu sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan
sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur”
(pembiasaan dan dilatih terus menerus). Pada manusia juga terjadi “dressur” pada
saat anak belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat itu anak
merasakan untuk meniru dan berbuat, maka anak berbuat sesuatu. Misalnya pada
anak usia sekitar 2-6 tahun, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut
kemauannya.
Pendidikan adalah perlu karena anak manusia dilahirkan
tidak berdaya (https://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/11/15/pandangan-pendidikan-tentang-manusia-sebagai-animal-educandum/)
:
1.
Anak manusia di lahirkan tidak
dilengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi
lingkungan.
2.
Anak manusia perlu masa belajar
yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara tepat berhubungan dengan
lingkungan secara konstruktif.
3.
Awal pendidikan terjadi setelah
anak manusia mencapai penyesuaian jasmani atau mencapai kebebasan fisik dan
jasmanhi.
Manusia merupakan makhluk yang perlu di
didik, karena manusia pada saat dilahirkan kondisinya sangat tidak berdaya sama
sekali. Seorang bayi yang baru dilahirkan, berada dalam kondisi yang sangat
memerlukan bantuan, ia memiliki ketergantungan yang sangat besar. Padahal nanti
kelak kemudian hari apabila ia telah dewasa akan mempunyai tugas yang besar
yakni sebagai khalifah dimuka bumi. Kondisi seperti ini jelas sangat memerlukan
bantuan dari orang yang ada disekitarnya. Bantuan yang diberikan itulah awal
kegiatan pendidikan. Sesuai dengan tugas yang akan diembannya nanti dikemudian
hari, dibalik ketidakberdayaan atau ketergantungan yang lebih dari binatang.
Hanya kemampuan-kemampuan tersebut masih tersembunyi, masih merupakan
potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Disinilah perlunya pendidikan dalam
rangka mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut, sehingga menjadi kemampuan
nyata. Dengan bekal berbagai potensi itulah manusia dipandang sebagai mahkluk
yang dapat di didik (https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html)
D.
Manusia sebagai Makhluk
Hidup yang dapat di Didik
Manusia perlu dididik dan mendidik diri.
Berdasarkan konsep hakikat manusia, dapat ditemukan lima prinsip antropologis
yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik (Moh. Ghufron : 2017),
yaitu :
1.
Prinsip Potensialitas
Manusia memiliki berbagai macam potensi, yaitu potensi
untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, potensi untuk berbuat baik,
potensi cipta, potensi rasa, potensi karsa dan potensi karya. Sebab itu,
manusia akan dapat dididik karena manusia sudah memiliki potensi untuk menjadi
manusia ideal.
2.
Prinsip Dinamika
Manusia itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia
yang ideal. Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun
spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari
apa yang telah ada atau telah dicapainya. Ia berupaya mengaktualisasikan diri
agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka interaksi/ kominukasinya secara
horizontal maupun vertikal. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa
manusia dapat dididik.
3.
Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu manusia
(peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri.
Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki
kesendirian (subyektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya
sendiri. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat
dididik.
4.
Prinsip Sosialitas
Pendidikan berlangsung dalam pergaulan (interaksi/
komunikasi) antar sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Melalui
pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan diterima
peserta didik. Hakikat manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan
sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan menjadi hubungan
pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari
individu yang lainnya. Sebab itu, sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia
akan dapat dididik.
5.
Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan
berdasarkan sistem nilai dan nilai tertentu. Disamping itu pendidikan bertujuan
agar manusia berakhlak mulia agar manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat, dan budayanya. Dipihak
lain manusia berdimensi moralitas, manusia mampu membedakan yang baik dan
jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa manusia dapat
dididik.
Atas dasar berbagai asusmsi di atas, jelas kiranya manusia
akan dapat didik. Sehubungan dengan itu M.J. Langenveld (dalam Moh. Ghufron,
2017: 58) memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile”.
Dengan mengacu pada asusmsi ini diharapkan kita sebagai manusia harus bersikap
sabar dan tabah dalam melaksanakan pendidikan.
Dalam hal ini keharusan mendapatkan pendidikan itu jika
diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara
lain dapat dikemukakan sebagai berikut(https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html)
:
1.
Aspek Pedagogis
Dalam aspek ini para ahli didik memandang manusia sebagai
animal educandum: makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataanya manusia
dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik.
Sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih
secara dressur, artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
statis, tidak berubah.
2.
Aspek Sosiologis dan Kultural
Menurut ahli sosiologi pada prinsipnya, manusia adalah homosocius,
yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau memiliki gazirah (instink)
untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makluk sosial manusia harus memiliki rasa
tanggung jawab sosial (social responsibility) yang diperlukan
dalam mengembangkan hubungan timbal balik (inter relasi) dan saling pengaruh
mempengaruhi antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka
3.
Aspek Tauhid.
Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa
manusia itu adalah makhluk yang berketuhanan yang menurut istilah ahli disebut homo
divinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut dengan homo
religious artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang
meyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragama adalah
karena di dalam jiwa manusia terdapat instink yang disebut instink religious
atau gazirah diniyah (instink percaya kepada agama). Itu sebabnya, tanpa
melalui proses pendidikan instink religious dan gazirah diniyah
tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar.
E.
Aliran Filsafat Pendidikan
Dalam perkembangannya muncul aliran pendidikan yang mempengaruhi dan
mendasari kemungkian manusia layak untuk dididik dan mendapatkan pendidikan. Suyono
dan Hariyanto (2020) dalam bukunya menjelaskan tentang aliran filsafat
pendidikan sebagi berikut :
1.
Nativisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang artinya terlahir atau
pembawaan lahir. Tokoh yang terkenal adalah Arthur Schopenhouer seorang filsuf
Jerman. Pandangan ini berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata
ditentukan oleh faktor-faktor bawaan sejak lahir (hereditas). Menurut aliran
ini setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang
disebut pembawaan, dan terdiri dari pembawaan yang baik dan pembawaan yang
buruk. Sifat bawaan ini tidak dapat diubah oleh pengalaman, lingkungan dan
pendidikan, dengan demikian hasil akhir pendidikan dipengaruhi atau ditentukan
oleh sifat bawaan itu. Aliran yang berpandangan sesuai doktrin filsafat ini
disebut dengan Pedagogik Pesimistis, karena pesimis terhadap amnfaat
pendidikan.
2.
Naturalisme
Naturalisme berasal dari kata natura (Latin) atau nature
(Inggris) yang artimya alam atau kodrat. Pelopornya Jean-Jacques Rousseau. Aliran
ini berpendapat bahwa setiap anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan
baik, dan tidak seorang pun lahir dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik akan
menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan manusia itu
sendiri. Aliran ini tidak memandang pentingnya pendidikan, sehingga disebut
aliran negativisme, karena berpendapat bahwa pendidikan wajib membiarkan
pertumbuhan anak pada alam, atau dengan kata lain tidak diperlukan campur
tangan pendidikan.
3.
Empirisme
Empirisme berasal dari kata empiria atau pengalaman, tokohnya
adalah John Locke (Inggris). Paham ini bertentangan dengan paham nativisme dan
berpandangan bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat pembawaan apa pun,
anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih, tabula rasa. Dengan demikian
di atas kertas putih itu orang dapat membuat coretan-coretan menurut
kehendaknya. Melalui kontak dengan lingkungan anak-anak mendapatkan pengalaman
empirik yang membentuk anak di masa depan. Pendidikan harus dirancang
sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat memperoleh pengalaman yang berguna
dari alam lingkungannya. Aliran ini disebut juga pedagogik optimistis karena
besarnya optimis terhadap peranan pendidikan.
4.
Konvergensi
Pandangan ini memadukan antara pandangan nativisme dan empirisme.
Tokohnya yaitu William Stern (Jerman). Aliran ini berpandangan bahwa
perkembangan intelektual anak didik tidak hanya dilihat dari faktor pembawaan
atau lingkungan saja tetapi perpaduan antara keduanya, sinergisme antara faktor
internal nature, natur (faktor dasar) alami, dan faktor eksternal nurture,
nurtur (faktor ajar, bimbingan) pengalaman.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Dari paparan dan penjelasan diatas
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa manusia merupakan makhluk yang sejak
lahir tidak berdaya sama sekali, tidak memiliki kemampuan apa pun untuk
bertahan hidup dan melangsungkan kehidupannnya. Tidak seperti hewan atau
binatang yang sebagian telah dibekali kemampuan dan insting untuk bertahan
hidup. Namun sejak lahir pula manusia telah dibekali dengan akal pikiran untuk
berkembang dan potensi-poetnsi kemampuannya untuk bertahan hidup yang lebih
baik dibanding dengan hewan ketika dewasa nanti. Untuk mengembangkan semua
kemampuan dan potensinya itu, maka manusia perlu dididik dan mendapatkan
pendidikan. Tujuan utama tidak lain adalah agar manusia dapat melangsungkan
kehidupannya dan mengembangkan kehidupannya lebih baik lagi. Sehingga dapat
dikatakan manusia
sebagai animal educandum, yang artinya manusia merupakan hewan yang dapat
didik dan harus mendapat pendidikan
B.
Saran
Saran
yang dapat disampaikan penulis kepada pembaca dari pembahasan risalah di atas
adalah jadilah manusia yang sesungguhnya karena pada hakekatnya manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun dikatakan manusia sebagai animal educandum, namun jangalah kita sekali-kali mempuyai sifat yang menyerupai hewan
atau binatang. Jadilah hamba Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan dan H. Khairil. 2022. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung : Alfabeta.
Ghufron, Moh. 2017. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Kalimedia.
Sadulloh, Uyoh. dkk. 2021. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung : Alfabeta.
Suryana, Yaya dan H. A. Rusdiana. 2019. Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep Prinsip Implementasi. Bandung: Pustaka Setia.
Suyono dan Hariyanto. 2020. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep dasar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Taufik, Agus. dkk. 2011. Pendidikan Anak di SD. Jakarta : Universitas Terbuka.
https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html

Tidak ada komentar:
Posting Komentar