Selasa, 20 September 2022

MANUSIA SEBAGAI ANIMAL EDUCANDUM

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.          Latar Belakang Masalah

Hakikat manusia dipandang dari sisi penciptaannya adalah makhluk yang paling sempuran dibanding dengan makhluk lainnya. Hal ini karena manusia dibekali dengan akal sedangkan makhluk lainnya tidak dibekali oleh akal. Dengan bekal ini, manusia akan selalu berpikir tentang kelangsungan hidup dan generasinya. Dengan akal, manusia akan selalu berusaha untuk menemukan berbagai cara untuk survive, baik untuk dirinya sendiri maupun keturunan atau generasinya. Dengan akal pula manusia akan senantiasa untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik fisik maupun non fisik yang berlangsung secara alami.

Namun akan berbeda sekali dengan makhluk ciptaan lainnya dalam hal ini adalah hewan atau binatang. Dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang bertentangan dengan alam pikiran manusia. Hewan atau binatang hanya dibekali dengan insting saja, sehingga dalam berperilaku hewan tidak berpikir namun hanya mengandalkan insting belaka. Hewan tidak akan berpikir bagaimana cara untuk meningkatkan, mengembangkan dan cara mempertahankkan kehidupannya dimasa-masa yang akan datang. Insting mereka hanya bagaimana mereka dapat bertahan hidup untuk saat ini saja.

Manusia tidak dapat disamakan dengan hewan. Ketika manusia baru dilahirkan ke dunia, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup. Manusia dilahirkan sebagai makhluk hidup yang tidak berdaya. Manusia begitu lahir ke dunia perlu mendapatkan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya (Uyoh Sadulloh: 2021). Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka manusia perlu didik dan mendapatkan pendidikan selama hidupnya. Berbeda dengan bayi binatang atau hewan yang baru dilahirkan ke dunia. Ada yang langsung dapat bertahan hidup secara mandiri lepas dari bantuan induknya sendiri. Mereka harus mencari makan sendiri dan bertahan hidup dari para predatornya sesuai dengan instingnya. Ada juga yang perlu bantuan induknya sampai benar-benar mampu hidup secara mandiri.

Manusia yang baru dilahirkan tidak memiliki insting untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, manusia dapat dididik dalam suatu proses belajar yang membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau yang dikenal dengan pendidikan.

Menurut Uyoh Sadulloh (2021) manyatakan bahwa manusia sebagai animal educandum, secara bahasa berarti bahwa manusia merupakan hewan yang dapat didik dan harus mendapat pendidikan. Dari pengertian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara manusia dan hewan. Perbedaan manusia dengan hewan ialah bahwa manusia dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan

Pada dasarnya terdapat dua alasan dasar mengapa manusia itu harus dididik/ mendidik. Alasan pertama adalah dasar biologis dan alasan kedua adalah dasar sosio-antropologis. Dasar biologis mengemukakan bahwa manusia lahir dengan kondisi yang tidak dilengkapi dengan insting sempurna untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan bersaing dalam lingkungan, serta pendidikan itu dimulai ketika manusia sudah mencapai penyesuaian jasmani.

Dasar biologis ini memberikan implikasi manusia memerlukan bantuan manusia dewasa untuk memberikan perlindungan dan perawatan sebagai masa persiapan pendidikan, serta manusia dewasa yang tidak berhasil dididik perlu melakukan reedukasi. Dasar sosio-antropologis mengemukakan bahwa peradaban tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Dasar ini memberikan implikasi terhadap keharusan dalam pendidikan, yaitu diperlukan transformasi dari organisme biologis ke organisme berbudaya, diperlukan juga transmisi dan internalisasi budaya.

Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Pendidikan mengenalkan manusia pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, melalui pendidikan manusia dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Hakikat pendidikan bukan terletak pada perbaikan keterampilan seperti pada hewan, melainkan kita mendidik anak sehingga kepribadiannya merupakan integritas, merupakan kesatuan jasmani rohani, dan dapat berperilaku yang bertanggung jawab. Kemampuan bertanggungjawab memerlukan kemampuan memilih nilai-nilai, khususnya nilai kesusilaan, nilai religi, sehingga dapat berbuah kebaikan (Uyoh Sadulloh : 2021).

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hewan tidak dapat dididik dan tidak memungkinkan untuk menerima pendidikan, sehingga tidak mungkin dapat dilibatkan dalam proses pendidikan. Hanya manusialah yang dapat dididik dan kemungkinan dapat menerima pendidikan karena manusia dilengkapi dengan akal budi.

B.          Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :

1.       Bagaimana pandangan Filosofis dan Ahli Biologi tentang Manusia?

2.       Apa hakekat dan tujuan pendidikan bagi manusia?

3.       Mengapa manusia harus dididik?

4.       Dapatkah manusia sebagai makhluk hidup di didik?

5.       Apa saja aliran filasafat pendidikan yang mendukung kemungkinan manusia dapat dididik?

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pandangan Filosofis dan Ahli Biologi tentang Manusia

1.       Pandangan Filosofis tentang Manusia

Pertanyaan filosofis tentang sosok manusia adalah “What is man, and what of is man made?” (apa dan terbuat dari apa manusia itu?). Untuk menjawab pertanyaan tersebut banyak filsuf dengan pandangan filsafatnya yang memberikan batasan atau definisi tentang manusia.

Sigmund Freud (Yaya Suryana, 2019 : 44) berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari strukutur jiwa yang dimiliki yang terdiri atas tiga hal, yaitu :

a.       Das Es bagian dasar (the Id), terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah kesengan dan kepuasan (lust principle), yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yaitu hasrat-hasrat biologis (libido-sexualis), bersifat asadar, amoral, asosial, dan egoistis.

b.       Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari Das Es. Das Ich dapat mengerti dunia asadar, asosial, dan amoral, lebih realistis, tetapi belum ethis.

c.       Das Uber Ich (superego), yaitu bagian jiwa yang paling tinggi, paling sadar norma, dan paling luhur. Bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia). Superego atau Das Uber Ich selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, dan relegius.

Selain itu dalam perkembangannya (Yaya Suryana, 2019 : 44) terdapat perbedaan paham, antara lain sebagi berikut :

a.        Paham monoisme atau paham materialisme memandang manusia hanya dari segi materi. Manusia tidak berbeda dengan alam semesta yang serba materi. Manusia adalah yang tampak sebagi wujudnya.

b.       Paham idealisme yang sering juga disebut dengan paham rasionalisme atau spiritualisme, memandang manusia dari aspek mentalnya, jasmani atau tubuh hanya merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, dan rasio) manusia.

c.        Paham dualisme atau realisme yang melihat realita sebagai sintesis dua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan makhluk mati. Dalam perkembangannya manusia menurut paham ini, bahwa :

1)       Manusia adalah kesatuan antara rohani dan jasmani, jiwa dan raga

2)       Manusia adalah totalisme, sebagai satu individu dengan kepribadian yang unik, baik sebagai umat manusia keseluruhan maupun sebagai satu pribadi.

3)       Paham ini mengakui adanya potensi hereditas disamping realita lingkungan sebagai faktor luar.

2.       Pandangan Ahli Biologi tentang Manusia

Yaya Suryana (2019) menjelaskan bahwa para ahli biologi menyebut manusia adalah hewan yang berakal budi. Hal ini disebabkan dalam dunia hewan, manusia digolongkan metazoa dengan phylum chordata, subphylum-nya vertebrata termasuk dalam kelas mammalia yang orde-nya primata, subordo antropoidea, keluarga dari hommonidea dengan genus homo termasuk spesies sapiens. Wacana seperti itu yang kemudian melahirkan bahwa manusia adalah makhluk biologis.

a.       Manusia disebut Makhluk Biologis

Manusia disebut makhluk biologis karena memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata lainnya, yaitu :

1)       Sebagian primata hidup di atas pohon, hanya baboon dan manusia yang hidup di atas tanah;

2)       Anggota badannya mudah digerakkan, terutama yang berusia muda;

3)       Jari-jari primata dapat memegang benda kasar maupun benda halus, mencengkam, meraih, dan fungsi lainnya;

4)       Penglihatan primata lebih tajam, tetapi penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya;

5)       Volume otak primata relatif lebih besar daripada mamalia lainnya

b.       Manusia sebagai Makhluk Biologis

Manusia sebagai makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya diberi berbagai macam-macam sebutan, yaitu :

1)       Manusia disebut homo sapiens, yaitu dikategorikan sebagai bagian dari zoology (ilmu hewan) yang dapat menggunakan sifat dan kemampuan berfikir secara bijaksana sehingga manusia juga disebut sebagai makhluk rasional.

2)       Manusia disebut homo faber karena manusia mampu menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan mempergunakan alat.

3)       Manusia disebut homo loquens, yaitu makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi sosial.

4)       Manusia disebut homo sosialis, karena sifat dan kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat).

5)       Manusia disebut homo economicus, karena menggunakan sifat dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan kebutuhan hidupnya.

6)       Manusia disebut homo relegiousus, karena memiliki sifat dan kemampuannya untuk berfikir dan menyadari adanya kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya).

7)       Manusia disebut homo delegans, karena sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain dan menyadari keterbatasannya.

8)       Manusia disebut homo legatus, karena sifat dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya.

9)       Manusia disebut artis creator, karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan (estetika).

B.      Hakekat dan Tujuan Pendidikan Bagi Manusia

1.       Hakekat Pendidikan Bagi Manusia

Salah satu pengertian yang sangat umum tentang pendidikan dikemukan oleh Driyarkara (dalam Agus Taufik, 2011: 1.3) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani harus diwujudkan di dalam seluruh proses atau upaya pendidikan.

Moh. Ghufron (2017 : 76) mendefinisikan pendidikan adalah upaya yang sadar dilakukan untuk meningkatkan kemampuan individu agar dapat menentukan kehidupan secara mandiri. Pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala hal lingkungan dan sepanjang hidup atau segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Sedangkan definisi pendidikan dalam arti sempit adalah sekolah atau pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan serta tugas sosial mereka.

Definisi lebih spesifik tentang pendidikan tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, bangsa dan negara

 

Sedangkan hakikat pendidikan, Yaya Suryana dan Rusdiana (2019: 69) dalam bukunya menjelaskan bahwa :

Hakikat Pendidikan pada dasarnya adalah upaya manusia untuk mempertahankan kehidupannya yang tidak hanya berkelanjutan keberadaan fisik atau raganya, tetapi juga keberkelanjutan kualitas jiwa dan peradabannya dalam arti terjadi peningkatan kualitas budayanya, baik pendidikan yang dilaksanakan secara alami oleh orang tua kepada anak atau masyarakat kepada generasinya maupun pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi pendidikan yang lebih dikenal dengan istilah sekolah, baik formal maupun non formal. Dengan demikian pendidikan berlangsung seumur hidup atau long-life education.

 

Moh. Ghufron (2017 : 72) menyebutkan tentang hakekat pendidikan, yaitu:

1.       Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan sebjek didik dengan kewibawaan pendidik.

2.       Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan semakin pesat.

3.       Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.

4.       Pendidikan berlangsung seumur hidup.

5.       Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.

2.       Tujuan Pendidikan Bagi Manusia

Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perorangan maupun kelompok. Tujuan pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar (fundamental), karena dari tujuan itulah akan menentukan ke arah mana manusia akan dibawa. Tujuan pendidikan biasanya dirumuskan dalam bentuk tujuan akhir (ultimate aims of education). Secara umum tujuan pendidikan adalah kematangan dan integritas pribadi, ada pula yang merumuskan dengan kata kesempurnaan (perfection) (Yaya Suryana, 2019 : 74).

Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, seperti yang dikemukakan oleh Hummel (dalam Uyoh Sadulloh, 2021: 73-74) antara lain :

1.       Autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.

2.       Equity (keadilan), berarti tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama.

3.       Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, John Locke (Yaya Suryana, 2019 : 74) mengemukakan beberapa tujuan pendidikan, yaitu sebagai berikut :

1.       Pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa).

2.       Pendidikan bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya.

3.       Pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab.

4.       Pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan memperbaharui sistem pemerintahan yang ada.

C.      Mengapa Manusia Harus Dididik

Memperhatikan tentang konsep manusia, hakekat dan tujuan pendidikan, ada beberapa asumsi yang memungkinkan manusia harus dididik dan memperoleh pendidikan (Uyoh Sadulloh, 2021: 96-102), yaitu :

1.       Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya.

Manusia begitu lahir ke dunia perlu mendapatkan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.

2.       Manusia lahir tidak langsung dewasa.

Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan secara khusus, memerlukan waktu yang lama. Untuk mengarungi kehidupan dewasa, manusia perlu disiapkan. Persiapan tersebut dapat diperoleh dengan pendidikan, di mana orang tua atau generasi tua akan mewariskan pengetahuan, nilai-nilai, serta keterampilannya  kepada anak-anaknya atau generasi berikutnya.

3.       Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial.

Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, dimanapun dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dilingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.

4.       Manusia sebagai makhluk individu yang berdiri sendiri.

Pengertian makhluk sosial tidak berarti bahwa individu (perorangan) tidak ada. Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia hidup bersama dalam kepribadian sendiri-sendiri. Ia masih tetap berdiri sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup adalah hidup antara pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak berarti bahwa individu itu luluh menyatu dengan yang lain. Manusia hidup bersama, namun tetap secara individu dan individu.

5.       Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat bertanggungjawab

Seorang manusia harus mampu bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Setiap tindakan manusia membawa akibat, dan sering kali akibat itu menimpa orang lain. Seekor hewan kalau berbuat sesuatu tidak akan mengerti akibat yang timbul dari tindakan tersebut karena hewan tak mampu berpikir, dan tindakannya hanya berdasarkan oleh insting belaka.

6.       Sifat manusia dan kemungkinan terjadinya pendidikan.

Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip dengan pendidikan, namun itu sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur” (pembiasaan dan dilatih terus menerus). Pada manusia juga terjadi “dressur” pada saat anak belum memiliki kesadaran akan kekurangan dirinya. Pada saat itu anak merasakan untuk meniru dan berbuat, maka anak berbuat sesuatu. Misalnya pada anak usia sekitar 2-6 tahun, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut kemauannya.

Pendidikan adalah perlu karena anak manusia dilahirkan tidak berdaya (https://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/11/15/pandangan-pendidikan-tentang-manusia-sebagai-animal-educandum/) :

1.       Anak manusia di lahirkan tidak dilengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan.

2.       Anak manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara tepat berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif.

3.       Awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani atau mencapai kebebasan fisik dan jasmanhi.

Manusia merupakan makhluk yang perlu di didik, karena manusia pada saat dilahirkan kondisinya sangat tidak berdaya sama sekali. Seorang bayi yang baru dilahirkan, berada dalam kondisi yang sangat memerlukan bantuan, ia memiliki ketergantungan yang sangat besar. Padahal nanti kelak kemudian hari apabila ia telah dewasa akan mempunyai tugas yang besar yakni sebagai khalifah dimuka bumi. Kondisi seperti ini jelas sangat memerlukan bantuan dari orang yang ada disekitarnya. Bantuan yang diberikan itulah awal kegiatan pendidikan. Sesuai dengan tugas yang akan diembannya nanti dikemudian hari, dibalik ketidakberdayaan atau ketergantungan yang lebih dari binatang. Hanya kemampuan-kemampuan tersebut masih tersembunyi, masih merupakan potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Disinilah perlunya pendidikan dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut, sehingga menjadi kemampuan nyata. Dengan bekal berbagai potensi itulah manusia dipandang sebagai mahkluk yang dapat di didik (https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html)

D.      Manusia sebagai Makhluk Hidup yang dapat di Didik

Manusia perlu dididik dan mendidik diri. Berdasarkan konsep hakikat manusia, dapat ditemukan lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik (Moh. Ghufron : 2017), yaitu :

1.       Prinsip Potensialitas

Manusia memiliki berbagai macam potensi, yaitu potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, potensi untuk berbuat baik, potensi cipta, potensi rasa, potensi karsa dan potensi karya. Sebab itu, manusia akan dapat dididik karena manusia sudah memiliki potensi untuk menjadi manusia ideal.

2.       Prinsip Dinamika

Manusia itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia yang ideal. Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah ada atau telah dicapainya. Ia berupaya mengaktualisasikan diri agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka interaksi/ kominukasinya secara horizontal maupun vertikal. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik.

3.       Prinsip Individualitas

Praktek pendidikan merupakan upaya membantu manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya sendiri. Di pihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang memiliki kesendirian (subyektifitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya sendiri. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

4.       Prinsip Sosialitas

Pendidikan berlangsung dalam pergaulan (interaksi/ komunikasi) antar sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Melalui pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan diterima peserta didik. Hakikat manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan menjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

5.       Prinsip Moralitas

Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem nilai dan nilai tertentu. Disamping itu pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia agar manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari agama, masyarakat, dan budayanya. Dipihak lain manusia berdimensi moralitas, manusia mampu membedakan yang baik dan jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik.

Atas dasar berbagai asusmsi di atas, jelas kiranya manusia akan dapat didik. Sehubungan dengan itu M.J. Langenveld (dalam Moh. Ghufron, 2017: 58) memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile”. Dengan mengacu pada asusmsi ini diharapkan kita sebagai manusia harus bersikap sabar dan tabah dalam melaksanakan pendidikan.

Dalam hal ini keharusan mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain dapat  dikemukakan sebagai berikut(https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html) :

1.       Aspek Pedagogis

Dalam aspek ini para ahli didik memandang manusia sebagai animal educandum: makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataanya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik. Sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dressur, artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah.

2.       Aspek Sosiologis dan Kultural

Menurut ahli sosiologi pada prinsipnya, manusia adalah homosocius, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar atau memiliki gazirah (instink) untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makluk sosial manusia harus memiliki rasa tanggung jawab sosial (social responsibility) yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik (inter relasi) dan saling pengaruh mempengaruhi antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka

3.       Aspek Tauhid.

Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia itu adalah makhluk yang berketuhanan yang menurut istilah ahli disebut homo divinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut dengan homo religious artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang meyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragama adalah karena di dalam jiwa manusia terdapat instink yang disebut instink religious atau gazirah diniyah (instink percaya kepada agama). Itu sebabnya, tanpa melalui proses pendidikan instink religious dan gazirah diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar.

E.      Aliran Filsafat Pendidikan

Dalam perkembangannya muncul aliran pendidikan yang mempengaruhi dan mendasari kemungkian manusia layak untuk dididik dan mendapatkan pendidikan. Suyono dan Hariyanto (2020) dalam bukunya menjelaskan tentang aliran filsafat pendidikan sebagi berikut :

1.       Nativisme

Nativisme berasal dari kata Nativus yang artinya terlahir atau pembawaan lahir. Tokoh yang terkenal adalah Arthur Schopenhouer seorang filsuf Jerman. Pandangan ini berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor bawaan sejak lahir (hereditas). Menurut aliran ini setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut pembawaan, dan terdiri dari pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Sifat bawaan ini tidak dapat diubah oleh pengalaman, lingkungan dan pendidikan, dengan demikian hasil akhir pendidikan dipengaruhi atau ditentukan oleh sifat bawaan itu. Aliran yang berpandangan sesuai doktrin filsafat ini disebut dengan Pedagogik Pesimistis, karena pesimis terhadap amnfaat pendidikan.

2.       Naturalisme

Naturalisme berasal dari kata natura (Latin) atau nature (Inggris) yang artimya alam atau kodrat. Pelopornya Jean-Jacques Rousseau. Aliran ini berpendapat bahwa setiap anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik, dan tidak seorang pun lahir dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan manusia itu sendiri. Aliran ini tidak memandang pentingnya pendidikan, sehingga disebut aliran negativisme, karena berpendapat bahwa pendidikan wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, atau dengan kata lain tidak diperlukan campur tangan pendidikan.

3.       Empirisme

Empirisme berasal dari kata empiria atau pengalaman, tokohnya adalah John Locke (Inggris). Paham ini bertentangan dengan paham nativisme dan berpandangan bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat pembawaan apa pun, anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih, tabula rasa. Dengan demikian di atas kertas putih itu orang dapat membuat coretan-coretan menurut kehendaknya. Melalui kontak dengan lingkungan anak-anak mendapatkan pengalaman empirik yang membentuk anak di masa depan. Pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat memperoleh pengalaman yang berguna dari alam lingkungannya. Aliran ini disebut juga pedagogik optimistis karena besarnya optimis terhadap peranan pendidikan.

4.       Konvergensi

Pandangan ini memadukan antara pandangan nativisme dan empirisme. Tokohnya yaitu William Stern (Jerman). Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan intelektual anak didik tidak hanya dilihat dari faktor pembawaan atau lingkungan saja tetapi perpaduan antara keduanya, sinergisme antara faktor internal nature, natur (faktor dasar) alami, dan faktor eksternal nurture, nurtur (faktor ajar, bimbingan) pengalaman.

 

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A.      Simpulan

Dari paparan dan penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa manusia merupakan makhluk yang sejak lahir tidak berdaya sama sekali, tidak memiliki kemampuan apa pun untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupannnya. Tidak seperti hewan atau binatang yang sebagian telah dibekali kemampuan dan insting untuk bertahan hidup. Namun sejak lahir pula manusia telah dibekali dengan akal pikiran untuk berkembang dan potensi-poetnsi kemampuannya untuk bertahan hidup yang lebih baik dibanding dengan hewan ketika dewasa nanti. Untuk mengembangkan semua kemampuan dan potensinya itu, maka manusia perlu dididik dan mendapatkan pendidikan. Tujuan utama tidak lain adalah agar manusia dapat melangsungkan kehidupannya dan mengembangkan kehidupannya lebih baik lagi. Sehingga dapat dikatakan manusia sebagai animal educandum, yang artinya manusia merupakan hewan yang dapat didik dan harus mendapat pendidikan

B.      Saran

Saran yang dapat disampaikan penulis kepada pembaca dari pembahasan risalah di atas adalah jadilah manusia yang sesungguhnya karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun dikatakan manusia sebagai animal educandum, namun jangalah kita sekali-kali mempuyai sifat yang menyerupai hewan atau binatang. Jadilah hamba Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan dan H. Khairil. 2022. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung : Alfabeta.

Ghufron, Moh. 2017. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Kalimedia.

Sadulloh, Uyoh. dkk. 2021. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung : Alfabeta.

Suryana, Yaya dan H. A. Rusdiana. 2019. Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep Prinsip Implementasi. Bandung: Pustaka Setia.

Suyono dan Hariyanto. 2020. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep dasar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Taufik, Agus. dkk. 2011. Pendidikan Anak di SD. Jakarta : Universitas Terbuka.

https://www.rijal09.com/2016/03/manusia-sebagai-animal-educandum.html#:~:text=Manusia%20sebagai%20animal%20educandum%2C%20secara,dapat%20dididik%20dan%20mendapatkan%20pendidikan.

https://pgsdkita.blogspot.com/2018/12/manusia-sebagai-animal-educandum.html

https://ppraudlatulmubtadiin.wordpress.com/2009/11/15/pandangan-pendidikan-tentang-manusia-sebagai-animal-educandum/

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate