Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial serta aplikasinya dalam
Pembelajaran di Sekolah
Oleh : Sudono
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai belajar dan
pembelajaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hal
yang tidak akan pernah berakhir sejak manusia pertama kali dilahirkan di muka
bumi sampai mati, akan terus dilakukan secara berkesinambungan mulai dari
manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman. Belajar merupakan
proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami oleh manusia sejak
manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh berkembang dari anak-anak, remaja
sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip
pembelajaran sepanjang hayat. Sebenarnya jauh sekitar 15 abad yang lalu, Nabi
Muhammad SAW pernah menyampaikan bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam
buaian sampai ke liang lahat, minaal mahdi ilal lahdi.
Teori sains terkahir mengungkapkan
bahwa calon manusia telah mulai belajar saat jutaan sel sperma berjuang
mencapai ovum dalam uterus (Suyono dan Hariyanto, 2020). Jutaan sel sperma itu
seolah saling berebut dan berlomba untuk sampai ovum, banyak diantaranya yang
gugur di tengah jalan sebelum mencapai tujuan utama yaitu ovum. Diantara sekian
juta sel sperma, uniknya hanya satu atau dua sel sperma (bayi kembar) yang dapat
mencapai ovum, yang lainnya mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah
dibuahi. Demikianlah calon manusia telah belajar berjuang, beradaptasi,
bersaing tetapi bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.
Ketika manusia menginjak masa anak-anak
sampai dewasa, maka kegiatan belajar akan bergeser pada lembaga formal yaitu di
sekolah dari tingkat PAUD sampai perguruan tinggi. Di sekolah proses
tranformasi ilmu akan dilakukan dengan proses belajar mengajar melalui
pembelajaran. Melalui pembelajaran ini manusia akan memperolah ilmu pengaetahun
yang disampaikan atau diajarkan oleh guru. Namun tidak semua ilmu pengetahuan
yang disampaikan oleh guru akan diterima oleh murid atau peserta didik. Hal ini
dikarenakan ada beberapa faktor penyebab dapat berasal dari murid atau peserta
didik, guru, atau lingkungannya.
Istilah pembelajaran sering
diidentikkan dengan pengajaran atau mengajar. Hal dapat terlihat dalam redaksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 20 (tentang Standar Proses) dinyatakan bahwa
“Perencanaan Pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian
hasil belajar.”
Mengajar merupakan suatu kegiatan yang
memerlukan pengetahuan dan keterampilan profesional, sebab apa yang harus
dikerjakan guru di dalam kelas maupun di luar kelas melibatkan berbagai
keputusan edukatif yang perlu dilakukan secara cermat. Pengambilan keputusan pembelajaran
pada saat melakukan proses belajar mengajar seperti memilih dan
mengorganisasikan bahan ajar yang tepat, berkomunikasi dengan anak baik secara
individu maupun secara klasikal, menentukan pendekatan pembelajaran yang
efektif, mengelola kelas dan lain sebagainya tidak bisa dilakukan secara
amatiran tetapi diperlukan pemikiran secara ilmiah. Keputusan pembelajaran pada
masa lampau yang diambil berdasarkan pemikiran apa adanya, tentu saja sekarang
dan yang akan datang sudah tidak memadai lagi. Pendekatan pembelajaran yang
hanya berorientasi pada kegiatan guru tentu saja untuk masa sekarang tidak
memadai dan mendukung lagi.
Pengambilan keputusan pembelajaran yang
memadai merupakan masalah penting bagi guru karena ada perubahan mendasar
mengenai paradigma pembelajaran yang semula berorientasi pada guru sekarang
pada murid atau peserta didik. Pada hakekatnya proses belajar mengajar
merupakan proses interaksi pebelajar dengan lingkungan, dan guru merupakan
salah satu unsur di dalamnya. Oleh karena itu pengambilan keputusan pendidikan
atau pembelajaran dalam proses belajar mengajar menuntut adanya peningkatan
profesionalisme guru.
Profesionalisme guru dalam mengajar
antara lain ditandai dengan pengambilan keputusan pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan baik aspek ilmiah maupu aspek moral. Pengambilan
keputusan tersebut antara lain menyangkut bagaimana perlakuan kepada murid atau
peserta didik, organisasi materi ajar, pemilihan sarana dan pendukung proses
belajar mengajar, pendekatan pembelajaran yang digunakan, dan sebagainya.
Bila dilihat dari kacamata pendidikan
di era ini, masih ditemukan para pengajar yang belum memiliki wawasan dasar
keilmuwan terutama yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran. Pendekatan
merupakan dasar sebelum menentukan bahan ajar, tujuan pencapaian, maupun
strategi yang tepat untuk diterapkan kepada anak didik. Menurut Suyono dan
Hariyanto (dalam Fathurrohman, 2018), pendekatan pembelajaran dapat diartikan
sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang
merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Pembelajaran seyogyanya tidak
hanya mementingkan pada habisnya seluruh bahan ajar tanpa mempedulikan kondisi
dari anak didik.
Terkadang, seorang pendidik masih
menerapkan sistem pengajaran tradisional yakni mengajar tanpa mempedulikan
gejala-gejala perubahan tingkah laku pada anak didik. Sehingga, seorang anak
didik hanya dituntut untuk faham akan apa yang di jelaskan oleh gurunya serta
sepenuhnya dari buku pegangan. Dalam hal ini, pembelajaran akan semakin
memprihatinkan apabila acuh terhadap apa yang di rasakan oleh anak didik saat
mereka berpartisipasi dalam kelas. Padahal, proses untuk menghasilkan prestasi
yang memuaskan seorang anak didik harus mampu mengubah perilakunya ke arah yang
lebih baik dengan bimbingan dari gurunya dan pengalaman belajar yang mereka
dapatkan selama pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh karenanya
peran seorang guru untuk lebih peka akan gejala perubahan perilaku anak didik
sangatlah penting, bahkan sangat di sarankan setiap guru mempunyai wawasan
mengenai dasar pendekatan pengajaran sebelum menentukan bahan ajar hingga
metode pengajarannya.
Pendekatan pembelajaran merupakan suatu
himpunan asumsi yang saling berhubungan dan terkait dengan sifat pembelajaran.
Suatu pendekatan bersifat aksiomatik dan menggambarkan sifat-sifat dan ciri
khas suatu pokok bahasan yang diajarkan. Dalam pengertian pendekatan
pembelajaran tergambarkan latar psikologis dan latar pedagogis dari pilihan
metode pembelajaran yang akan digunakan dan diterapkan oleh guru bersama siswa.
Salah satu point untuk keberhasilan
dalam pembelajaran di kelas atau disekolah, maka seorang guru harus benar-benar
dapat memilih salah pendekatan pembelajaran dan memadukannya dengan pendekatan
lain dengan tepat sehingga tujuan pembelajaran yang diharapak akan tercapai.
Diantara banyak teori pendekatan pembelajaran yang kita ketahui, ada salah satu
pendekatan pembelajaran untuk dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas
atau di sekolah yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai guru profesional yaitu
pendekatan ilmu perilaku (Behavioristik) dan kognitif sosial. Nah
sekarang apakah kalian paham apa yang dimaksud dengan pendekatan ilmu perilaku
dan kognitif sosial itu? Dan bagaimana penerapan atau aplikasi kedua pendekatan
tersebut dalam pembelajaran di sekolah? untuk menjawab semua itu, mari kita
simak pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembelajaran
Pengertian
pembelajaran mempunyai arti proses mengajar dan belajar. Sedangkan yang
dimaksud dengan mengajar bukan sekedar proses mentransfer pengetahuan kepada
siswa tetapi merupakan proses mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi
kognitif, afektif, dan psikomotor siswa melalui proses internalisasi
pengetahuan dan keterampilan sehingga pengetahuan dan keterampilan tersebut
dikuasai (acquisition) dan dapat diterapkan menghadapi tantangan bidang akademis
maupun tantangan dalam kehidupan sehari-hari (Seto Mulyadi, dkk, 2020: 54).
Seto Mulyadi, dkk
(2020) dalam bukunya membagi definisi pembelajaran menjadi tiga definisi, yaitu
:
1.
Definisi Tradisional
Pembelajaran adalah kegiatan guru
memberikan atau mentransfer materi pelajaran sebanyak-banyaknya kepada siswa.
Dalam pembelajaran ini aktivitas didominasi oleh guru sedangkan aktivitas siswa
sangat minim hanya mendengarkan dan mencatat, sekali-kali bertanya. Dengan
diberikan materi sebanyak-banyaknya dipandang materi akan dikuasai dan dapat
diterapkan. Siswa dipandang sebagai objek yang hanya menerima materi pelajaran
yang diberikan oleh guru.
2.
Definisi Transisi
Dalam definisi ini, pembelajaran adalah
kegiatan guru untuk mengaktifkan siswa baik segi kognitif, afektif, maupun
psikomotor agar dapat menguasai (acquisition) dan menerapkan (aplication)
pengetahuna dan keterampilan yang diberikan oleh guru. Guru hanya sebagai
fasilitator, sedangkan siswa harus aktif menggali (exploration) dan
menemukan (discovery) inti-inti materi pelajaran sehingga dapat dikuasai
dan diterapkan dalam menghadapi tantangan bidang akademis dan pekerjaan. Siswa
dipandang sebagai subjek yang aktif mengolah materi pelajaran sendiri.
3.
Definisi Modern
Dalam definisi ini, pembelajaran adalah
kegiatan menciptakan kondisi sehingga siswa mampu mengubah dirinya sendiri baik
dalam kemampuan-kemampuannya, pola pikirnya, wawasannya, kepribadiannya,
sikapnya, motivasinya dan semua hal yang menyangkut aspek kepribadiaanya.
Pembelajaran yang demikian dikatakan sebagai pembelajaran transformatif atau
pembelajaran transformasional.
Dalam praktik
pembelajaran, saat seorang guru sudah menentukan pendekatan dan metode
pembelajaran apa yang akan digunakan, maka seorang guru memerlukan pemahaman
tentang latar belakang pengetahuan siswanya, lingkungan belajaranya dan tujuan
yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Pada dasarnya setiap anak memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam menerima dan menyerap informasi ilmu
pengetahuan dan berbeda pula dalam cara menunjukkan kemampuannya dalam memahami
pengetahuan.
Menurut Thorndike,
proses pembelajaran lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi
secara perlahan atau inkremental/ bertahap bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan beberapa hukum dalam proses pembelajaran (Fathurrohman, 2018).
1.
Hukum Efek (The Law of Effect),
dimana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.
2.
Hukum Latihan (The Law of
Exercise), perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan, latihan
berulang tetap dapat diberikan tetapi yang terpenting adalah individu menyadari
konsekuensi perilakunya.
3.
Hukum Kesiapan (The Law of
Readiness), pada prinsipnya sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya.
B.
Pendekatan Ilmu Perilaku (Behavioristik)
Salah satu pendekatan
yang mengedepankan pada gejala-gejala perubahan tingkah laku seorang anak didik
ialah Pendekatan Behavioristik atau pendekatan ilmu perilaku. Pendekatan
ini merupakan salah satu pendekatan yang cukup dikenal. Pendekatan belajar behavioristik
melihat belajar merupakan perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap
belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Pandangan
behaviorisme ini mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus,
dan keluaran atau output yang berupa respons. Menurut Thorndike sebagai pendiri
pendekatan beavioristik, pendekatan jenis ini merupakan suatu proses
interaksi antara stimulus (yang berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan
respons (yang juga berupa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Secara
ringkas, teori ini merupakan suatu perubahan tingkah laku boleh berwujud yang
konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak dapat diamati) (Reira
Litalisdiana, 2016) serta dilihat sebagai bentuk dari perubahan tingkah laku
(Rizka Amalia & Ahmad Nur Fadholi, 2018) seseorang terutama peserta didik.
Behavioristik merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Pavlov dan Skinner. Skinner adalah
salah satu ahli waris behaviorisme yang dikembangkan Watson. Dia sependapat
dengan Watson, bahwa tidaklah produktif untuk menjelaskan sesuatu dengan merujuk
pada struktur yang tidak dapat diamati secara langsung. Bagi Skinner istilah
kepribadian tidak ada, yang ada adalah perilaku, perilaku sepenuhnya dapat dipahami
karena merupakan tanggapan terhadap faktor-faktor dari lingkungan. S kinner lebih
menekankan subjek penelitian yang bersifat individu. Fokus utama dalam
konsep Behaviorisme adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar yang
menstimulasinya serta pentingnya control terhadap perilaku. Konsep utama behavioristik
adalah berfokus pada tingkah laku yang kelihatan, ketepatan dalam menyusun
tujuan-tujuan treatmen, perumusan rencana-rencana treatmen yang spesifik, dan
evaluasi yang lebih obyektif berkenaan dengan hasil-hasil konseling.
Behavioristik merupakan suatu pendekatan terapi tingkah laku yang berkembang pesat dan sangat
populer, dikarenakan memenuhi prinsip-prinsip kesederhanaan, kelogisan, mudah
dipahami dan diterapkan, serta adanya penekanan perhatian pada perilaku yang
positif (Namora Lumongga,
2016 : 139). Pendekatan Behavioristik adalah suatu pandangan
ilmiah tentang tingkah laku manusia, dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku
itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan
dengan cermat akan mengungkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah
laku (Taufiq, 2016). Pendekatan behavioristik adalah suatu pendekatan
psikologi yang berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial
atau psikologis, dimana perilaku adalah hasil pengalaman dan perilaku dimotivasi
oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan (Lefudin, 2014).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioristik
merupakan suatu pendekatan psikologi yang berfokus kepada tingkah laku manusia.
Munculnya perilaku manusia disebabkan oleh adanya faktor lain yang mempengaruhinya.
Para ahli psikologi
pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung
dengan tiga langkah pokok (Suyono dan Hariyanto, 2020 : 71-72), yaitu :
1.
Tahap akuisisi, tahap pemerolehan
pengetahuan. Dalam tahap ini siswa belajar tentang informasi baru.
2.
Tahap retensi, dalam tahap ini
informasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktekkan sehingga siswa
dapat mengingatnya selama satu periode waktu tertentu. Tahap ini juga disebut
tahap penyimpanan (storage stage), artinya hasil belajar disimpan untuk
digunakan di masa depan.
3.
Tahap Transfer. Seringkali gagasan
yang disimpan dalam memori sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa
depan. Kemampuan untuk mengingat kembali informasi dan menggunakannya dalam
situasi baru (yaitu mentransfernya dalam pembelajaran yang baru) tampaknya
memang memerlukan bermacam-macam strategi, tetapi kelihatannya amat bergantung
kepada ingatan kita terhadap informassi yang benar.
Pendekatan ilmu
perilaku menekankan pentingnya anak-anak dalam membuat hubungan antara
pengalaman dan perilaku. Pendekatan ilmu perilaku ada dua yaitu pengkondisian
klasik dan pengkondisian operan :
1.
Pengkondisian Klasik
Konsep pengondisian
klasik di kembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Pengondisian klasik
(classical conditioning) adalah suatu bentuk pembelajaran asosiatif dimana
sebuah stimulus netral diasosiasikan dengan stimulus yang berarti dan
mendapatkan kapasitas untuk mendatangkan respon yang sama.
Ada dua jenis
stimulus dan dua jenis respons teori pengondisian klasik dari Pavlov : stimulus
yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), respons yang tidak
terkondisi (unconditioned response-UCR), stimulus yang terkondisi (conditioned
stimulus-CS), dan respon yang terkondisi (conditioned response-CR).
Stimulus yang tidak
terkondisi adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan sebuah
respons tanpa pembelajaran apa pun terlebih dulu. Respons yang tidak terkondisi
adalah sebuah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis didatangkan
oleh stimulus yang tidak terkondisi (UCR didatangkan oleh UCS). Dalam
eksperimen Pavlov, keluarnya air liur oleh anjing sebagai respons terhadap
makanan adalah UCR. Stimulus terkondisi adalah stimulus yang sebelumnya
bersifat netral yang akhirnya mendatangkan sebuah respons yang terkondisi,
setelah diasosiasikan dengan stimulus yang tidak terkondisi (CS mendatangkan CR
setelah diasosiasikan dengan UCS). Stimulus-stimulus yang dikondisikan dalam
eksperimen Pavlov diantaranya adalah berbagai pandangan dan suara yang terjadi
sebelum anjing tersebut benar-benar mengonsumsi makanan, seperti suara pintu
terbuka sebelum makanan ditempatkan dalam piring anjing tersebut. Respons yang
terkondisi adalah sebuah respons yang dipelajari terhadap stimulus yang
terkondisi, yang terjadi setelah UCS-CS dipasangkan. Proses-proses dalam
pengondisian klasik yaitu :
a.
Generalisasi dalam pengondisian
klasik melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus
terkondisi asli untuk menghasilkan respons serupa. Seorang siswa dikritik untuk
hasil yang buruk pada ujian biologi. Ketika siswa tersebut mulai mempersiapkan
diri untuk ujian kimia, ia juga menjadi sangat gugup karena kedua subjek
tersebut berhubungan dekat dalam ilmu pengetahuan. Jadi, kegelisahan siswa
tersebut menggeneralisasi dari melakukan ujian dalam satu subjek ke melakukan
ujian dalam subjek lainnya
b.
Diskriminasi dalam pengondisian
klasik terjadi ketika organisme
merespons stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya (Murphy,
Baker, & Fouguet, 2001). Dalam kasus siswa yang mengambil ujian dalam kelas
yang berbeda, ia tidak menjadi sama gelisahnya dalam melakukan ujian bahasa Inggris
atau ujian sejarah karena keduanya adalah area subjek yang sangat berbeda.
c.
Pelemahan (extincition) dalam
pengondisian klasik melibatkan proses
melemahnya stumulus yang terkondisi (CR) dengan menghilangkan atau tidak
adanya stimulus yang tidak terkondisi (UCS). Sama halnya dengan siswa yang
menjadi gelisah ketika melakukan ujian mulai mendapatkan hasil yang lebih baik
pada ujian-ujiannya sehingga kegelisahannya akan berkurang.
2.
Pengkondisian Operan
Pengkondisian operan
(Instrumental) adalah suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi berupa
hukuman dan imbalan dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas
bahwa perilaku itu akan terjadi. Pencetus dari teori ini adalah B.F. Skinner
(1938).
Penghargaan adalah
konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa perilaku akan terjadi. Sebagai
contoh, anda mengatakan “Selamat, aku benar-benar bangga dengan cerita yang
kamu tulis”, jika mahasiswa bekerja keras dan menulis cerita yang lebih baik dari
sebelumnya. Penghargaan ini akan meningkatkan probabilitas perilaku menulis
mahasiswa tersebut. Sebaliknya, hukuman merupakan konsekuensi yang menurunkan
probabilitas perilaku yang akan terjadi. Misalnya, ketika mahasiswa sedang
berbicara di depan kelas kemudian dosen mengerutkan dahi, maka pembicaraan
mahasiswa ini akan berkurang. Mengerutkan dahi ini dikatakan sebagai hukuman
saat siswa itu berbicara.
Bentuk penguatan
perilaku ada dua macam, yakni penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan positif berarti meningkatkan frekuensi respon karena diikuti oleh
stimulus yang bermanfaat. Seperti contoh di atas, pujian dari dosen bisa
meningkatkan perilaku menulis mahasiswa. Sedangkan penguatan negatif adalah
meningkatkan frekuensi respon karena diikuti dengan rangsangan penghapusan
hukuman (menyenangkan). Sebagai contoh, seorang ayah mengomel pada anaknya
untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia terus mengomel. Akhirnya si anak bosan
mendengarkan omelan ayahnya dan melakukan pekerjaan rumahnya itu. Respon anak
tersebut (mengerjakan PR) merupakan bentuk penghapusan stimulus tidak
menyenangkan (omelan).
Dalam pengkondisian
operan juga terjadi generalisasi, diskriminasi dan kepunahan yang mirip dengan
pengkondisian klasik. Generalisasi dalam pengkondisian operan misalnya terjadi
ketika seorang dosen memuji mahasiswanya dalam mata kuliah psikologi pendidikan
maka mahasiswa tersebut akan menyama ratakan rangsangan ini untuk melakukan
pekerjan yang lebih keras lagi dalam mata kuliah bidang lainnya. Diskriminasi dalam
pengkondisian operan terjadi ketika seorang siswa melihat nampan berlabel
“matematika” adalah tempat dimana seharusnya dia meletakkan pekerjaan
matematika hari ini. Sedangkan nampan yang berlabel “Bahasa Inggris” adalah
tempat untuk meletakkan pekerjaan bahasa Inggris hari ini bukan untuk pekerjaan
yang lain. Kepunahan dalam pengkondisian operan terlihat ketika seorang
mahasiswa mencubit temannya dan dosen segera menegurnya. Jika hal ini terjadi
secara teratur maka mahasiswa akan belajar bahwa mencubit temannya merupakan
suatu cara untuk mendapatkan perhatian dari dosen. Jika kemudia dosen
mengabaikannya, mungkin perilaku mahasiswa tadi akan dihentikan.
Kelebihan pendekatan ilmu perilaku atau
behavioristik
1.
Guru akan terbiasa untuk bersikap
teliti dan peka saat kondisi belajar mengajar.
2.
Guru lebih sering membiasakan
muridnya untuk belajar mandiri, tetapi ketika murid kesulitan baru bertanya
kepada guru.
3.
Dapat mengganti cara mengajar
(stimulus) yang satu dengan stimulus lainnya hingga mendapatkan apa yang
diterima oleh murid (respon).
4.
Dengan teori belajar ini sangat
cocok untuk mendapatkan kemampuan yang mengandung unsur-unsur kecepatan,
spontanitas, dan daya tahan.
5.
Teori ini bisa membentuk perilaku
yang diinginkan. Dengan kata lain, perilaku yang berdampak baik bagi murid
diberi perhatian lebih dan perilaku yang kurang sesuai dengan murid
perhatiannya dikurangi.
Kekurangan pendekatan ilmu perilaku
atau behavioristik
1.
Tidak semua pelajaran dapat
memakai teori belajar behavioristik.
2.
Guru diharuskan untuk menyusun
bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
3.
Murid cenderung diarahkan untuk
berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan memposisikan murid sebagai murid
pasif.
4.
Dalam proses belajar mengajar,
murid hanya bisa mendengar dan menghafal yang didengarkan.
5.
Murid membutuhkan motivasi dari
luar dan sangat bergantung pada guru.
C.
Pendekatan Kognitif Sosial
(Social Cognitive)
Istilah kognitif yang
kita kenal banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan
kognitifnya, namun sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt (Bapak
Psikologi). Menurut Wundt (dalam Suyono dan Hariyanto, 2020 : 73) kognitif
adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur
melalui pengalaman-pengalaman. Wundt mempercayai bahwa pikiran adalah hasil
kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian disimpan di dalam
memori.
Teori Kognitif Sosial
(Social Cognitive Theory) adalah sebuah istilah baru dalam teori pembelajaran
social, istilah ini dikemukakan seorang tokoh bernama Albert Bandura. Albert
Bandura lahir pada tahun 1925 di Kanada. Dia menerima gelar doktor pada
diskhursus ilmu psikologi klinis dari University of Iowa, di mana pola pikirnya
dipengaruhi oleh buku "Social Learning and Imitasi" karya Miller dan
Dollard (1941). Nama baru "Teori Kognitif Sosial" digunakan pada
tahun 1970-an dan 1980-an. Ide utama dari pemikiran Bandura juga merupakan
pengembangan dari pemikiran pembelajaran tiruan Miller dan Dollard. (Elga,
2019). Dalam beberapa publikasi, Bandura telah menguraikan proses pembelajaran
sosial yang menyangkut faktor kognitif dan perilaku yang mempengaruhi
masyarakat dalam proses pembelajaran sosial.
Kognitiv-social ialah sebuah gagasan yang menekankan pendapat bahawasanya mayoritas
kegiatan belajar individu berlangsung dilingkungan sosial. Melalui kegiatan
mengamati orang lain, individu akan mendapatkan pengalaman, norma, skill,
strategi strategis, kepercayaan, dan perilaku. Pesonal Orang juga dapat
observasi model atau misalnya untuk menelaah kegunaan dan kesesuaian sikap yang
dihasilkan dari perilaku yang dimodelkan, dan setelah itu melakuakan apa yang
diyakini oleh mereka dan hasil yang diharapkan dari perilaku tersebut (Dale,
2012).
Dalam pengembangan
teory dari Bandura ini, ia menjelaskan cara seseorang mengontrol keajadian
dalam kehidupan melalui pikiran dan tindakan yang mengatur diri sendiri. Proses
fundamentalnya meliputi penetapan arah tujuan, evaluasi asumsi hasil dari
sebuah tindakan, evaluasi kemajuan pencapaian tujuan, dan pengaturan diri
terhadap pikiran, emosi, dan tindakan. Bandura menjelaskan bahwa ciri khas lain
dari teori kognitif sosial adalah bahwa ia memainkan peran utama dalam pengaturan
diri. Perilaku orang tidak hanya menyesuaikan diri dengan kecenderungan orang
lain. Sebagian besar perilaku mereka dimotivasi dan diatur oleh standar
internal, dan tanggapan mereka terhadap perilaku mereka terkait dengan
penilaian diri.
Untuk lebih memahami
mengenai pendekatan kognitif sosial, perlu dipahami beberapa hal yang berkaitan
dengan kognitif itu sendiri, yaitu :
1.
Teori Belajar Kognitif
Salah satu dari teori
belajar yang sering digunakan dalam kegiatan pembelajaran adalah teori belajar
kognitif. Teori belajar ini memiliki pengaruh terhadap kegiatan belajar yang
akan dilaksanakan. Dengan teori belajar kognitif, maka seorang guru dapat
melihat perubahan yang terjadi pada kognitif atau mental seseorang. Oleh sebab
itu, tak sedikit para guru yang menggunakan teori belajar ini.
Terdapat banyak
pandangan tentang belajar, sehingga muncul berbagai teori belajar. Antara teori yang satu dengan teori
lainnya berbeda-beda dalam mendefinisikan belajar. Teori belajar hadir dan muncul
pada dasarnya disebabkan oleh para ahli Psikologi belum puas dengan penjelasan
teori-teori yang terdahulu tentang belajar. Di antara teori belajar yang sangat
terkenal adalah teori behavior dan teori kognitif.
Teori belajar
kognitif merupakan teori belajar yang muncul setelah teori behavioristik.
Hadirnya teori belajar kognitif untuk merespon teori belajar behavioristik yang
hanya memerhatikan kondisi psikologi saja. Para penemu teori belajar
behavioristik beranggapan bahwa kondisi mental yang ada di dalam peset didik
tidak bisa diamati. Padahal pada kenyataannya, kondisi mental bisa dikatakan
harus diamati saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung.
Jika teori belajar
behavioristik mengutamakan adanya stimulus dan respon, maka lain halnya dengan
teori belajar kognitif yang tidak hanya memerhatikan stimulus dan respon,
tetapi juga mengutamakan adanya perubahan mental dan perilaku, seperti cara
peserta didik memahami suatu hal, cara peserta didik berpikir, dan cara peserta
didik menggunakan pengetahuannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kognitif adalah berhubungan dengan atau melibatkan kognisi atau berdasar kepada
pengetahuan faktual yang empiris.
2.
Fungsi Kognitif
Dikutip dari situs
Gramedia, Teori kognitif ini erat hubungannya dengan fungsi kognitif sebagai
hasil output dari proses pendekatan kognitif itu sendiri. Fungsi kognitif
memiliki sejumlah dampak baik bagi murid yang akan bertahan dalam jangka waktu
panjang.
1.
Daya Ingat dan Memori
Membiasakan belajar secara kognitif
sama hal nya dengan membiasakan diri berpikir kompleks dan kritis. Dengan
begitu sistem saraf secara otomatis akan begitu fokus ketika menyerap informasi
dan pengetahuan dalam proses yang cepat, kemudian menyimpannya dalam otak.
Dengan menerapkan teori belajar kognitif ini akan mewujudkan daya serap yang
cepat dan memiliki memori jangka panjang.
2.
Melejitkan Daya Ingat Anak
Sejak usia dini anak-anak dapat
disajikan kegiatan yang dapat merangsang daya ingat mereka dengan metode yang
baik. Ini juga akan membantu anak mengasah konsentrasi mereka agar tetap fokus.
Melalui pendekatan kognitif dapat membuat para orang tua mampu melihat potensi
yang ada pada anak mereka.
3.
Perhatian
Fungsi selanjutnya yakni perhatian,
dimana murid dengan pembelajaran kognitif akan mampu menyeleksi rangsangan
terhadap bau, suara, gambar dan lainnya yang berhubungan dengan indera dengan
baik. Dalam fungsi ini juga murid akan mampu memfokuskan perhatian terhadap
rangsangan tersebut dan juga mengabaikannya dalam waktu seketika. Artinya
mereka akan sensitif terhadap sekitar dan mampu menyeleksi mana yang perlu
difokuskan sehingga dapat memusatkan perhatian pada objek yang penting.
4.
Fungsi Eksekutif
Pada tahap lanjut belajar dengan
pendekatan kognitif mampu mewujudkan fungsi eksekutif. Dimana murid akan mampu
membuat perencanaan dan mengeksekusinya dengan baik. Melalui pendekatan
kognitif, otak yang sudah terbiasa menyerap banyak konsep dan berpikir kompleks
serta kreatif akhirnya mampu mewujudkan pribadi yang solutif, mampu melihat
peluang dan menyelesaikan permasalahan.
5.
Kemampuan Bahasa
Pendekatan kognitif juga memberikan
pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa seseorang. Dalam prosesnya
murid akan mampu berkomunikasi dengan baik dengan penyesuaian situasi yang baik
juga. Selain ini adanya perbedaan kemampuan bahasa setiap orang juga
dipengaruhi oleh fungsi kognitif ini. Maka tidak heran apabila ada orang yang
mampu menguasai banyak bahasa (polyglot) dengan adaptasi yang baik, serta ada
pula yang kesulitan menguasai lebih dari satu atau dua bahasa.
6.
Kemampuan Mengenali dan Merasakan
Kemampuan pengenalan benda-benda
sekitar merupakan salah satu pengaruh dari fungsi kognitif yang sudah ada sejak
tahap awal anak bertumbuh. Kemudian tingkat pengenalan inipun semakin meningkat
hingga dapat membedakan hal-hal yang jauh lebih rumit. Sebab, adanya pendekatan
kognitif ini membuat seseorang mampu menyerap segala informasi dengan cepat
kemudian melakukan pengamatan hingga akhirnya dapat membedakan benda.
3.
Tokoh-Tokoh Teori Belajar
Kognitif
Beberapa tokoh yang
berperan dalam perkembangan teori belajar kognitif (Ahmad Susanto, 2018) sebagai
berikut :
1.
Jean Piaget
Jean Piaget bisa
dibilang sebagai seseorang yang menemukan psikologi kognitif atau penemu dari
teori belajar kognitif. Ia lahir pada tanggal 9 Agustus 1896, di Neuchatel,
Swiss. Beliau sangat mengidolakan ayahnya yang merupakan seorang akademisi.
Jean Piaget meninggal dunia pada tanggal 16 September 1980. Jean Piaget
beranggapan bahwa suatu perkembangan kognitif adalah sebuah proses yang terjadi
secara genetik. Oleh sebab itu, proses genetik diyakini berdasarkan dari
kondisi biologis seseorang. Dalam hal ini, kondisi biologis dapat dilihat
melalui adanya perkembangan atau pertumbuhan yang terjadi pada sistem saraf.
Misalnya, seseorang yang bertambah usia, maka susunan susunan sistem sarafnya
semakin kompleks, bahkan akan kemampuan yang dimiliki akan semakin bertambah.
Jean Piaget
mengatakan bahwa kemampuan berpikir dan kekuatan mental dari seorang anak yang
berbeda usia, maka perkembangan intelektual secara kualitatif juga berbeda.
Oleh sebab itu, Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif yang terjadi
pada seseorang secara kuantitatif ke dalam empat tahap, di antaranya :
a.
Tahap Sensorimotor (Umur 0-2
Tahun)
Tahap sensorimotor adalah tahap
kognitif yang terjadi ketika seseorang berumur 0 sampai 2 tahun. Pada tahapan
ini seorang anak akan diperhatikan perkembangannya melalui kegiatan motorik dan
suatu persepsi yang masih sangat sederhana. Biasanya pada tahapan ini, seorang
anak akan melihat suatu objek lebih lama, mencari rangsangan pada sinar lampu
atau sumber suara, dan mulai menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk yang
berbeda dari objek-objek yang ada di dekatnya.
b.
Tahap Pra-Operasional (Umur 2-7
Tahun)
Tahap pra-operasional adalah tahap
kognitif yang terjadi saat seseorang berusia sekitar 2-7 tahun. Pada tahapan
kognitif pra-operasional, biasanya dihubungkan dengan adanya penggunaan simbol
atau penggunaan bahasa tanda. Selain itu, pada tahapan ini, konsep intuitif
seorang anak mulai mengalami perkembangan atau pertumbuhan. Biasanya
pengetahuan yang didapatkan berasal dari suatu hal yang bersifat abstrak.
Ketika seorang anak memasuki tahap pra-operasional biasanya sudah bisa
mengenali ciri dari suatu objek, misalnya ada bola yang berwarna hijau, dapat
mengumpulkan benda yang sesuai dengan ukurannya, dan sebagainya.
c.
Tahap Operasional Konkrit (Umur
7-12 Tahun)
Tahap operasional konkrit atau tahapan
kognitif ketiga menurut Jean Piaget merupakan tahapan kognitif yang muncul
ketika seorang anak berusia 7 sampai 12 tahun. Pada tahapan ini, seorang anak
atau peserta didik dianggap sudah bisa mempraktikkan aturan-aturan dengan jelas
dan logis. Hal seperti ini biasanya ditandai dengan adanya kekekalan dan
reversible pada peserta didik. Tahap operasional konkrit bisa dikatakan sebagai
suatu tahapan kognitif yang di mana seorang anak sudah bisa mengelompokkan, mengklasifikasikan
suatu masalah. Alangkah baiknya, ketika seorang anak sudah memasuki tahapan ini
diberikan contoh suatu hal yang jelas dan logis supaya dapat menelaah suatu
permasalahan dengan baik.
d.
Tahap Operasional Formal (Umur
11-18 Tahun)
Tahap operasional formal ini muncul
ketika seorang anak atau peserta didik sudah berusia 11-18 tahun. Di tahapan
kognitif ini, seorang anak sudah terlihat memiliki kemampuan untuk berpikir
secara logis dan abstrak dengan menggunakan sebuah konsep berpikir “kemungkinan”.
Pada tahap ini bisa dikatakan muncul ketika seorang anak sedang memasuki usia
pubertas. Pada umumnya, seorang anak yang sudah memasuki tahap kognitif
operasional formal sudah bisa merasakan hal-hal, seperti cinta, suatu nilai
(baik atau buruk), serta tidak melihat suatu hal dalam bentuk hitam dan putih.
2.
David Ausubel
David Paul Ausubel
lahir pada tanggal 25 Oktober 1918 dan dibesarkan di Brooklyn, New York,
Amerika Serikat. Ia merupakan seorang psikolog dan berkontribusi terhadap
psikologi pendidikan, ilmu kognitif, dan berperan dalam pembelajaran pendidikan
sains yang terjadi pada pengembangan dan penelitian tentang Advance Organizer.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 9 Juli 2008.
Konsep teori kognitif
David Ausubel mengutamakan kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ia membagi
“belajar yang bermakna” ke dalam dua jenis, yaitu belajar bermakna (meaningful
learning) dan belajar menghapal (rote learning).
a.
Belajar Bermakna (Meaningful
Learning)
Dalam hal ini, belajar yang bermakna
dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar yang di mana informasi baru
selalu dikaitkan dengan suatu pemahaman yang sudah dimiliki oleh seseorang yang
sedang belajar.
b.
Belajar Menghapal (Rote Learning)
Belajar menghapal adalah suatu kegiatan
yang di mana peserta didik berusaha untuk menerima dan memahami suatu materi
pembelajaran yang telah diberikan oleh gurunya atau dari materi pembelajaran
yang dibacanya, seperti buku. David Ausubel beranggapan bahwa suatu kegiatan
pembelajaran baru akan bermakna, jika guru dapat mengombinasikan konsep,
prinsip, dan informasi verbal dengan baik. Dengan kata lain, proses belajar
yang hanya dilakukan dengan menghapal saja tak akan mampu membuat kegiatan
pembelajaran menjadi bermakna. Oleh sebab itu, supaya proses belajar bisa
bermakna, maka seorang guru wajib untuk mampu mempresentasikan hal-hal apa yang
perlu dipelajari oleh peserta didik. Sementara itu, peserta didik harus
berusaha untuk memahami apa yang diberikan oleh guru.
3.
Jerome Bruner.
Tokoh berikutnya yang
berperan dalam perkembangan teori belajar kognitif adalah Jerome Seymour Bruner
atau lebih dikenal dengan nama Jerome Bruner. Ia lahir di New York City,
Amerika Serikat pada tanggal 1 Oktober 1915. Jerome Bruner meninggal dunia pada
tahun 2016. Ia lulus dari Universitas Harvard dan mendapatkan gelar Doktor.
Setelah itu, Jerome melakukan penelitian terhadap persepsi dan pembelajaran.
Jerome Bruner
mengatakan bahwa seorang guru harus bisa untuk memberikan kesempatan pada
peserta didiknya agar bisa menjadi seorang yang bisa menyelesaikan suatu
masalah, seorang yang cerdas, seorang yang menyukai sejarah, seorang yang
pandai dalam bidang matematika, dan sebagainya. Dalam pandangan Jerome Bruner
proses belajar sangat dipengaruhi dengan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
perilaku peserta didik.
Selain itu, Jerome
Bruner juga membagi perkembangan kognitif menjadi 3 tahap atau model, yaitu :
a.
Tahap Enaktif
Tahap enaktif adalah tahap kognitif
yang di mana seseorang sudah bisa melakukan berbagai macam aktivitas agar bisa
memahami suatu lingkungan yang ada didekatnya. Misalnya, peserta didik mampu
untuk menendang bola, tetapi tidak mampu untuk menggumpalkan atau menggambarkan
kegiatan itu lewat kata-kata.
b.
Tahap Ikonik
Tahap ikonik adalah tahap kognitif
ketika seseorang sudah mengerti berbagai jenis objek atau “dunianya” dengan
melihat gambar-gambar atau visualisasi verbal. Pada tahap kognitif ini
seseorang akan memahami suatu hal melalui suatu perumpamaan atau perbandingan.
Misalnya, peserta didik sudah memiliki gambaran tentang mobil yang sedang
berjalan, tetapi mereka belum bisa mengungkapkan dalam sebuah susunan kalimat.
c.
Tahap Simbolik
Tahap simbolik adalah tahap kognitif
ketika seseorang sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan
atau ide-ide yang sifatnya abstrak dan biasanya akan dipengaruhi dengan
kemampuan yang dimilikinya, seperti kemampuan bahasa dan kemampuan logika.
D.
Aplikasi dalam Pembelajaran
di Sekolah
1.
Aplikasi Pendekatan Ilmu
Perilaku (Behavioristik)
Aplikasi pendekatan
tingkah laku/ behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pembelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pembelajar.
Dalam upaya penerapan
pendekatan tingkah laku (Behavioristik) dalam pembelajaran di sekolah,
Wasty Soemanto (2020) dalam bukunya mengemukakan metode untuk mengembangkan
pola tingkah laku baru :
1.
Shaping, didefinisikan sebagai pengembangan perilaku baru dengan memberikan reinforcement
pada setiap perkembangan dari perilaku yang menyerupai target perilaku yang
sudah ditetapkan. Proses ini dimulai dengan penetapan tujuan, analisis tugas,
langkah-langkah kegiatan murid, dan reinforcement terhadap proses yang diinginkan.
2.
Modelling, adalah suatu bentuk belajar yang tidak dapat disamakan dengan classical
conditioning maupun operant conditioning. Dalam modelling,
seseorang yang belajar mengikuti kelakuan orang lain sebagi model. Tingkah laku
manusia lebih banyak dipelajari melalui modelling atau imitasi dari pada
melalui pengajaran langsung.
Wasty Soemanto (2020)
dalam bukunya juga mengemukakan prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan
tingkah laku, diantaranya adalah :
1.
Memperkuat tingkah laku bersaing
2.
Ekstingsi, dilakukan dengan
membuang atau meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku.
3.
Satiasi, adalah suatu prosedur
menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah
sendiri atau jera.
4.
Perubahan lingkungan stimuli.
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimulis yang
mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh diluar
kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas sulit
mengecewakan murid, maka guru dapat menggantinya dengan tugas yang kurang
begitu sulit.
5.
Hukuman. Untuk memperbaiki tingkah
laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat
mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu
disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh
dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan
oleh murid.
Implementasi prinsip
Behavioristik dalam mendesain suatu pembelajaran (Mursyidi, 2019) adalah sebagai
berikut :
1.
Siswa harus diberitahu secara
eksplisit outcome belajar sehingga mereka dapat mensetting harapan-harapan
mereka dan menentukan apakah dirinya telah mencapai outcome dari pembelajaran
online atau tidak.
2.
Pembelajar harus diuji apakah
mereka telah mencapai outcome pembelajaran atau tidak. Tes dilakukan untuk
mencek tingkat pencapaian pembelajar dan untuk memberi umpan balik yang tepat.
3.
Materi belajar harus diurutkan
dengan tepat untuk meningkatkan belajar. Urutan dapat dimulai dari bentuk yang
sederhana ke yang kompleks, dari yang diketahui sampai yang tidak diketahui dan
dari pengetahuan sampai penerapan.
4.
Pembelajar harus diberi umpan
balik sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana melakukan tindakan koreksi
jika diperlukan
Kegiatan penguatan
dalam pembelajaran dikelas bisa dilaksanakan dengan memberikan
pengulangan-pengulangan yang ingin ditampilkan oleh siswa dalam proses
pembelajaran diantaranya :
1.
Tentukan perilaku apa saja yang
anda inginkan dari siswa dan berikan penguatan ketika perilaku itu terjadi.
Contohnya, memberikan pujian atau imbalan untuk pekerjaaan yang baik, jangan
berikan pujian atau imbalan untuk pekerjaan yang belum mereka kuasai.
2.
Sampaikan kepada siswa perilaku
apa saja yang anda inginkan, jika mereka memperlihatkan perilaku tersebut maka
anda akan memberikan penguatan serta sampaikan kepada mereka alasannya.
Contohnya berikan kriteriakriteria khusus yang akan anda gunakan dalam menilai
pekerjaan mereka, dan sertakan bobot nilai untuk masing-masing kriteria
tersebut. Siswa akan bisa menilai dimana letak kemampuan dan kelemahan mereka.
3.
Perkuat perilaku yang tepat
sesegera mungkin setelah hal itu terjadi. Contohnya ketika anda memberikan
tugas dan berikanlah nilai sesegera mungkin karena penguatan yang tertunda akan
kurang efektif. Siswa harus mengetahui bagaimana kinerja mereka dalam proses
pembelajaran.
2.
Aplikasi Pendekatan
Kognitif Sosial (Social Cognitive)
Teori Kognitif Sosial
(Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar
Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura.
Konsep utama teori Bandura bahwa walaupun belajar observasional terjadi secara
independen dari penguatan tidak berarti bahwa variabel lainnya tidak
memengaruhinya. Bandura menyebutkan bahwa terdapat empat proses yang saling
berhubungan dalam penerapan modeling dalam belajar (Nelly Marhayati, 2020)
yaitu :
1.
Proses Atensional (Perhatian)
Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi
pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah
laku yang diamati bagi si pengamat. Proses belajar akan semakin efektif jika
perhatian semakin besar. Pada umumnya siswa akan memberikan perhatian pada
panutan yang memikat, berhasil, menarik, dan populer.
2.
Proses Retensional (pengingatan)
Individu tidak akan mendapat pengaruh
lebih banyak dari mengamati perilaku seorang model, jika seseorang tersebut
tidak mengingatnya. Bandura berpendapat bahwa ada proses retensional di mana
informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinatif dan
secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran
tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan lama
sesudah belajar observasional terjadi (Tarsono, 2018)
3.
Proses Reproduksi (Pembentukan
Perilaku)
Untuk mencapai proses pembentukan
perilaku, peserta didik harus mengumpulkan serangkaian respon yang diberikan
sesuai dengan pola model. Proses pembentukan perilaku menentukan sejauh mana
hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau
performa
4.
Proses Motivasional
Menurut Bandura, proses keempat, yang
mempengaruhi pembelajaran observasional adalah motivasional, karena orang
cenderung lebih terlibat dalam tiga proses sebelumnya, (perhatian,
pemertahanan, produksi) untuk tindakan-tindakan model yang dianggap penting.
Pada proses ini, Para siswa harus termotivasi untuk menunjukkan tindakan model.
Motivasi, adalah adanya dorongan-dorongan dan alasan-alasan tertentu yang
mendorong siswa melakukan peniruan. Motivasi mencakup dorongan dari dalam, dari
luar, dan penghargaan terhadap diri sendiri. Motivasi merupakan sebuah proses
pembelajaran observasional yang penting yang diusahakan guru dengan berbagai
cara.
Supaya seorang guru
lebih mudah untuk menerapkan pendekatan kognitif sosial dalam kegiatan
pembelajaran, maka di bawah ini akan diberikan contoh kegiatan pembelajaran
dengan metode kognitif.
1.
Bagi seorang guru, sebaiknya
meminta kepada peserta didik untuk menggambarkan pengalaman yang telah mereka
lewati, kemudian dituangkan ke dalam bentuk kalimat. Misalnya, menceritakan
pengalaman ketika liburan sekolah.
2.
Memberikan bantuan kepada peserta
didik ketika sedang menghadapi suatu masalah, dengan cara memberikan solusi-solusi
dan menumbuhkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis.
3.
Membantu peserta didik untuk
memaksimalkan ide-ide atau gagasan-gagasannya agar dapat terwujud.
4.
Mengajak para peserta didik untuk
membiasakan diri melakukan diskusi. Seorang guru dapat melakukan hal ini dengan
cara memberikan kepada peserta didik untuk menyampaikan materi pembelajaran,
kemudian peserta didik lainnya memberikan pertanyaan.
5.
Seorang guru dapat meningkatkan
kemampuan kognitif peserta didik dengan cara membuat permainan atau
menyampaikan materi pembelajaran menggunakan visualisasi gambar.
6.
Selalu memotivasi peserta didik
dan tidak terlalu memfokuskan kegiatan belajar pada hapalan saja. Hal ini perlu
dilakukan agar menciptakan kegiatan belajar yang bermakna.
Beberapa hal yang
perlu diperhatikan saat menerapkan teori kognitif dalam proses belajar
mengajar.
1.
Pembuatan materi pembelajaran
harus disusun dengan pola atau logika sederhana dan kompleks.
2.
Siswa bukanlah orang dewasa yang
sudah mengerti dan mudah dalam berpikir. Oleh karena itu, guru harus memberikan pengarahan sesuai dengan usia
murid atau peserta didik.
3.
Setiap kegiatan pembelajaran harus
memiliki makna.
4.
Agar keberhasilan murid tercapai
maka guru perlu mengamati perbedaan yang ada pada setiap murid.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dibahas
sebelumnya, dapat dibuat kesimpulan, yaitu: Pertama, Pendekatan perilaku atau behavioristik
merupakan pendekatan belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku
serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori
belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain,
belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil dari interaksi
stimulus dan respon. Sedangakan pendekatan kognitif sosial merupakan merupakan
pendekatan yang memfokuskan faktor kognitif dan perilaku peserta didik dalam proses
pembelajaran sosial dengan tujuan mengutamakan adanya perubahan mental dan
perilaku dari peserta didik sendiri.
Kedua, aplikasi pendekatan ilmu
perilaku atau behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan
dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum
dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri siswa. Sedangkan pengaplikasian pendekatan
kognitif sosial dapat dilakukan dengan empat macam cara yaitu Proses Atensional
(Perhatian), Proses Retensional (pengingatan), Proses Reproduksi (Pembentukan
Perilaku), dan Proses Motivasional
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Rizka dan Ahmad Nur Fadholi. 2018. Teori Behavioristik. Sidoarjo: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Dale. H. Schunk. 2012. Learning theoris. An education perspektif. edisi ke enam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Elga Yanuardianto. 2019. Teori Kognitif Sosial Albert Bandura, Studi Kritis dalam Menjawab Problem Pembelajaran di MI. Jurnal Auladuna: Vol. 1, No. 2, Oktober.
Fathurrohman, Muhammad. 2018. Mengenal Lebih Dekat Pendekatan dan Model Pembelajaran Membuat Proses Pembelajaran Lebih Menyenangkan dengan Pengelolaan yang Bervariasi. Yogyakarta : Kalimedia.
https://www.gramedia.com/literasi/teori-belajar-kognitif/
https://www.endtalks.com/2021/07/implementasi-pendekatan-sosial-kognitif.html
Lefudin. 2014. Belajar Dan Pembelajaran. ttp: Budi Utama.
Marhayati, Nelly, Pasmah Chandra, dan Monna Fransisca. 2020. “Pendekatan Kognitif Sosial pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” dalam DAYAH: Journal of Islamic Education Vol. 3 No. 2
Mulyadi, Seto. dkk. 2020. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Teori-teori Baru dalam Psikologi. Depok : PT. Raja Grafindo Persada
Mursyidi. 2019. Kajian Teori Belajar Behaviorisme dan
Desain Instruksional, Al Marhalah Jurnal Pendidikan Islam P-ISSN 0126-043X
Volume. 3, No. 1 Mei 2019 E-ISSN 27162- 400,
http://journal.almarhalah.ac.id/index.php/almarhalah/article/view/30/29.
Namora Lumongga dan Hasnida. 2016. Konseling Kelompok. Jakarta : Kencana.
Reira Litalisdiana. 2016. Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pendidikan Dasar Kelas II SDN Panggang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Soemanto, Wasty. 2020. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Susanto, Ahmad. 2018. Teori Belajar dan Pembelajaran
di Sekolah Dasar. Jakarta. Kencana
.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar