Senin, 05 September 2022

Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial

 



Pendekatan Ilmu Perilaku dan Kognitif Sosial serta aplikasinya dalam Pembelajaran di Sekolah

Oleh : Sudono 

PENDAHULUAN

Berbicara mengenai belajar dan pembelajaran adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hal yang tidak akan pernah berakhir sejak manusia pertama kali dilahirkan di muka bumi sampai mati, akan terus dilakukan secara berkesinambungan mulai dari manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman. Belajar merupakan proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami oleh manusia sejak manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Sebenarnya jauh sekitar 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, minaal mahdi ilal lahdi.

Teori sains terkahir mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat jutaan sel sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus (Suyono dan Hariyanto, 2020). Jutaan sel sperma itu seolah saling berebut dan berlomba untuk sampai ovum, banyak diantaranya yang gugur di tengah jalan sebelum mencapai tujuan utama yaitu ovum. Diantara sekian juta sel sperma, uniknya hanya satu atau dua sel sperma (bayi kembar) yang dapat mencapai ovum, yang lainnya mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi. Demikianlah calon manusia telah belajar berjuang, beradaptasi, bersaing tetapi bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.

Ketika manusia menginjak masa anak-anak sampai dewasa, maka kegiatan belajar akan bergeser pada lembaga formal yaitu di sekolah dari tingkat PAUD sampai perguruan tinggi. Di sekolah proses tranformasi ilmu akan dilakukan dengan proses belajar mengajar melalui pembelajaran. Melalui pembelajaran ini manusia akan memperolah ilmu pengaetahun yang disampaikan atau diajarkan oleh guru. Namun tidak semua ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh guru akan diterima oleh murid atau peserta didik. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor penyebab dapat berasal dari murid atau peserta didik, guru, atau lingkungannya.

Istilah pembelajaran sering diidentikkan dengan pengajaran atau mengajar. Hal dapat terlihat dalam redaksi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 (tentang Standar Proses) dinyatakan bahwa “Perencanaan Pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.”

Mengajar merupakan suatu kegiatan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan profesional, sebab apa yang harus dikerjakan guru di dalam kelas maupun di luar kelas melibatkan berbagai keputusan edukatif yang perlu dilakukan secara cermat. Pengambilan keputusan pembelajaran pada saat melakukan proses belajar mengajar seperti memilih dan mengorganisasikan bahan ajar yang tepat, berkomunikasi dengan anak baik secara individu maupun secara klasikal, menentukan pendekatan pembelajaran yang efektif, mengelola kelas dan lain sebagainya tidak bisa dilakukan secara amatiran tetapi diperlukan pemikiran secara ilmiah. Keputusan pembelajaran pada masa lampau yang diambil berdasarkan pemikiran apa adanya, tentu saja sekarang dan yang akan datang sudah tidak memadai lagi. Pendekatan pembelajaran yang hanya berorientasi pada kegiatan guru tentu saja untuk masa sekarang tidak memadai dan mendukung lagi.

Pengambilan keputusan pembelajaran yang memadai merupakan masalah penting bagi guru karena ada perubahan mendasar mengenai paradigma pembelajaran yang semula berorientasi pada guru sekarang pada murid atau peserta didik. Pada hakekatnya proses belajar mengajar merupakan proses interaksi pebelajar dengan lingkungan, dan guru merupakan salah satu unsur di dalamnya. Oleh karena itu pengambilan keputusan pendidikan atau pembelajaran dalam proses belajar mengajar menuntut adanya peningkatan profesionalisme guru.

Profesionalisme guru dalam mengajar antara lain ditandai dengan pengambilan keputusan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan baik aspek ilmiah maupu aspek moral. Pengambilan keputusan tersebut antara lain menyangkut bagaimana perlakuan kepada murid atau peserta didik, organisasi materi ajar, pemilihan sarana dan pendukung proses belajar mengajar, pendekatan pembelajaran yang digunakan, dan sebagainya.

Bila dilihat dari kacamata pendidikan di era ini, masih ditemukan para pengajar yang belum memiliki wawasan dasar keilmuwan terutama yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran. Pendekatan merupakan dasar sebelum menentukan bahan ajar, tujuan pencapaian, maupun strategi yang tepat untuk diterapkan kepada anak didik. Menurut Suyono dan Hariyanto (dalam Fathurrohman, 2018), pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Pembelajaran seyogyanya tidak hanya mementingkan pada habisnya seluruh bahan ajar tanpa mempedulikan kondisi dari anak didik.

Terkadang, seorang pendidik masih menerapkan sistem pengajaran tradisional yakni mengajar tanpa mempedulikan gejala-gejala perubahan tingkah laku pada anak didik. Sehingga, seorang anak didik hanya dituntut untuk faham akan apa yang di jelaskan oleh gurunya serta sepenuhnya dari buku pegangan. Dalam hal ini, pembelajaran akan semakin memprihatinkan apabila acuh terhadap apa yang di rasakan oleh anak didik saat mereka berpartisipasi dalam kelas. Padahal, proses untuk menghasilkan prestasi yang memuaskan seorang anak didik harus mampu mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik dengan bimbingan dari gurunya dan pengalaman belajar yang mereka dapatkan selama pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh karenanya peran seorang guru untuk lebih peka akan gejala perubahan perilaku anak didik sangatlah penting, bahkan sangat di sarankan setiap guru mempunyai wawasan mengenai dasar pendekatan pengajaran sebelum menentukan bahan ajar hingga metode pengajarannya.

Pendekatan pembelajaran merupakan suatu himpunan asumsi yang saling berhubungan dan terkait dengan sifat pembelajaran. Suatu pendekatan bersifat aksiomatik dan menggambarkan sifat-sifat dan ciri khas suatu pokok bahasan yang diajarkan. Dalam pengertian pendekatan pembelajaran tergambarkan latar psikologis dan latar pedagogis dari pilihan metode pembelajaran yang akan digunakan dan diterapkan oleh guru bersama siswa.

Salah satu point untuk keberhasilan dalam pembelajaran di kelas atau disekolah, maka seorang guru harus benar-benar dapat memilih salah pendekatan pembelajaran dan memadukannya dengan pendekatan lain dengan tepat sehingga tujuan pembelajaran yang diharapak akan tercapai. Diantara banyak teori pendekatan pembelajaran yang kita ketahui, ada salah satu pendekatan pembelajaran untuk dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas atau di sekolah yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai guru profesional yaitu pendekatan ilmu perilaku (Behavioristik) dan kognitif sosial. Nah sekarang apakah kalian paham apa yang dimaksud dengan pendekatan ilmu perilaku dan kognitif sosial itu? Dan bagaimana penerapan atau aplikasi kedua pendekatan tersebut dalam pembelajaran di sekolah? untuk menjawab semua itu, mari kita simak pembahasan berikut.

 

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pembelajaran

Pengertian pembelajaran mempunyai arti proses mengajar dan belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan mengajar bukan sekedar proses mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi merupakan proses mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi kognitif, afektif, dan psikomotor siswa melalui proses internalisasi pengetahuan dan keterampilan sehingga pengetahuan dan keterampilan tersebut dikuasai (acquisition) dan dapat diterapkan menghadapi tantangan bidang akademis maupun tantangan dalam kehidupan sehari-hari (Seto Mulyadi, dkk, 2020: 54).

Seto Mulyadi, dkk (2020) dalam bukunya membagi definisi pembelajaran menjadi tiga definisi, yaitu :

1.       Definisi Tradisional

Pembelajaran adalah kegiatan guru memberikan atau mentransfer materi pelajaran sebanyak-banyaknya kepada siswa. Dalam pembelajaran ini aktivitas didominasi oleh guru sedangkan aktivitas siswa sangat minim hanya mendengarkan dan mencatat, sekali-kali bertanya. Dengan diberikan materi sebanyak-banyaknya dipandang materi akan dikuasai dan dapat diterapkan. Siswa dipandang sebagai objek yang hanya menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru.

2.       Definisi Transisi

Dalam definisi ini, pembelajaran adalah kegiatan guru untuk mengaktifkan siswa baik segi kognitif, afektif, maupun psikomotor agar dapat menguasai (acquisition) dan menerapkan (aplication) pengetahuna dan keterampilan yang diberikan oleh guru. Guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa harus aktif menggali (exploration) dan menemukan (discovery) inti-inti materi pelajaran sehingga dapat dikuasai dan diterapkan dalam menghadapi tantangan bidang akademis dan pekerjaan. Siswa dipandang sebagai subjek yang aktif mengolah materi pelajaran sendiri.

3.       Definisi Modern

Dalam definisi ini, pembelajaran adalah kegiatan menciptakan kondisi sehingga siswa mampu mengubah dirinya sendiri baik dalam kemampuan-kemampuannya, pola pikirnya, wawasannya, kepribadiannya, sikapnya, motivasinya dan semua hal yang menyangkut aspek kepribadiaanya. Pembelajaran yang demikian dikatakan sebagai pembelajaran transformatif atau pembelajaran transformasional.

Dalam praktik pembelajaran, saat seorang guru sudah menentukan pendekatan dan metode pembelajaran apa yang akan digunakan, maka seorang guru memerlukan pemahaman tentang latar belakang pengetahuan siswanya, lingkungan belajaranya dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menerima dan menyerap informasi ilmu pengetahuan dan berbeda pula dalam cara menunjukkan kemampuannya dalam memahami pengetahuan.

Menurut Thorndike, proses pembelajaran lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/ bertahap bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan beberapa hukum dalam proses pembelajaran (Fathurrohman, 2018).

1.       Hukum Efek (The Law of Effect), dimana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.

2.       Hukum Latihan (The Law of Exercise), perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan, latihan berulang tetap dapat diberikan tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.

3.       Hukum Kesiapan (The Law of Readiness), pada prinsipnya sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya.

B.      Pendekatan Ilmu Perilaku (Behavioristik)

Salah satu pendekatan yang mengedepankan pada gejala-gejala perubahan tingkah laku seorang anak didik ialah Pendekatan Behavioristik atau pendekatan ilmu perilaku. Pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan yang cukup dikenal. Pendekatan belajar behavioristik melihat belajar merupakan perubahan tingkah laku. Seseorang telah dianggap belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Pandangan behaviorisme ini mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respons. Menurut Thorndike sebagai pendiri pendekatan beavioristik, pendekatan jenis ini merupakan suatu proses interaksi antara stimulus (yang berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga berupa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Secara ringkas, teori ini merupakan suatu perubahan tingkah laku boleh berwujud yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak dapat diamati) (Reira Litalisdiana, 2016) serta dilihat sebagai bentuk dari perubahan tingkah laku (Rizka Amalia & Ahmad Nur Fadholi, 2018) seseorang terutama peserta didik.

Behavioristik merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Pavlov dan Skinner. Skinner adalah salah satu ahli waris behaviorisme yang dikembangkan Watson. Dia sependapat dengan Watson, bahwa tidaklah produktif untuk menjelaskan sesuatu dengan merujuk pada struktur yang tidak dapat diamati secara langsung. Bagi Skinner istilah kepribadian tidak ada, yang ada adalah perilaku, perilaku sepenuhnya dapat dipahami karena merupakan tanggapan terhadap faktor-faktor dari lingkungan. S kinner lebih menekankan subjek penelitian yang bersifat individu. Fokus utama dalam konsep Behaviorisme adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar yang menstimulasinya serta pentingnya control terhadap perilaku. Konsep utama behavioristik adalah berfokus pada tingkah laku yang kelihatan, ketepatan dalam menyusun tujuan-tujuan treatmen, perumusan rencana-rencana treatmen yang spesifik, dan evaluasi yang lebih obyektif berkenaan dengan hasil-hasil konseling.

Behavioristik merupakan suatu pendekatan terapi tingkah laku yang berkembang pesat dan sangat populer, dikarenakan memenuhi prinsip-prinsip kesederhanaan, kelogisan, mudah dipahami dan diterapkan, serta adanya penekanan perhatian pada perilaku yang positif (Namora Lumongga, 2016 : 139). Pendekatan Behavioristik adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia, dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan mengungkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku (Taufiq, 2016). Pendekatan behavioristik adalah suatu pendekatan psikologi yang berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, dimana perilaku adalah hasil pengalaman dan perilaku dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan (Lefudin, 2014).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan behavioristik merupakan suatu pendekatan psikologi yang berfokus kepada tingkah laku manusia. Munculnya perilaku manusia disebabkan oleh adanya faktor lain yang mempengaruhinya.

Para ahli psikologi pendidikan sepakat bahwa pembelajaran menurut konsep behaviorisme berlangsung dengan tiga langkah pokok (Suyono dan Hariyanto, 2020 : 71-72), yaitu :

1.       Tahap akuisisi, tahap pemerolehan pengetahuan. Dalam tahap ini siswa belajar tentang informasi baru.

2.       Tahap retensi, dalam tahap ini informasi atau keterampilan baru yang dipelajari dipraktekkan sehingga siswa dapat mengingatnya selama satu periode waktu tertentu. Tahap ini juga disebut tahap penyimpanan (storage stage), artinya hasil belajar disimpan untuk digunakan di masa depan.

3.       Tahap Transfer. Seringkali gagasan yang disimpan dalam memori sulit diingat kembali saat akan digunakan di masa depan. Kemampuan untuk mengingat kembali informasi dan menggunakannya dalam situasi baru (yaitu mentransfernya dalam pembelajaran yang baru) tampaknya memang memerlukan bermacam-macam strategi, tetapi kelihatannya amat bergantung kepada ingatan kita terhadap informassi yang benar.

Pendekatan ilmu perilaku menekankan pentingnya anak-anak dalam membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku. Pendekatan ilmu perilaku ada dua yaitu pengkondisian klasik dan pengkondisian operan :

1.       Pengkondisian Klasik

Konsep pengondisian klasik di kembangkan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Pengondisian klasik (classical conditioning) adalah suatu bentuk pembelajaran asosiatif dimana sebuah stimulus netral diasosiasikan dengan stimulus yang berarti dan mendapatkan kapasitas untuk mendatangkan respon yang sama.

Ada dua jenis stimulus dan dua jenis respons teori pengondisian klasik dari Pavlov : stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), respons yang tidak terkondisi (unconditioned response-UCR), stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus-CS), dan respon yang terkondisi (conditioned response-CR).

Stimulus yang tidak terkondisi adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan sebuah respons tanpa pembelajaran apa pun terlebih dulu. Respons yang tidak terkondisi adalah sebuah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis didatangkan oleh stimulus yang tidak terkondisi (UCR didatangkan oleh UCS). Dalam eksperimen Pavlov, keluarnya air liur oleh anjing sebagai respons terhadap makanan adalah UCR. Stimulus terkondisi adalah stimulus yang sebelumnya bersifat netral yang akhirnya mendatangkan sebuah respons yang terkondisi, setelah diasosiasikan dengan stimulus yang tidak terkondisi (CS mendatangkan CR setelah diasosiasikan dengan UCS). Stimulus-stimulus yang dikondisikan dalam eksperimen Pavlov diantaranya adalah berbagai pandangan dan suara yang terjadi sebelum anjing tersebut benar-benar mengonsumsi makanan, seperti suara pintu terbuka sebelum makanan ditempatkan dalam piring anjing tersebut. Respons yang terkondisi adalah sebuah respons yang dipelajari terhadap stimulus yang terkondisi, yang terjadi setelah UCS-CS dipasangkan. Proses-proses dalam pengondisian klasik yaitu :

a.       Generalisasi dalam pengondisian klasik melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respons serupa. Seorang siswa dikritik untuk hasil yang buruk pada ujian biologi. Ketika siswa tersebut mulai mempersiapkan diri untuk ujian kimia, ia juga menjadi sangat gugup karena kedua subjek tersebut berhubungan dekat dalam ilmu pengetahuan. Jadi, kegelisahan siswa tersebut menggeneralisasi dari melakukan ujian dalam satu subjek ke melakukan ujian dalam subjek lainnya

b.       Diskriminasi dalam pengondisian klasik terjadi ketika organisme      merespons stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya (Murphy, Baker, & Fouguet, 2001). Dalam kasus siswa yang mengambil ujian dalam kelas yang berbeda, ia tidak menjadi sama gelisahnya dalam melakukan ujian bahasa Inggris atau ujian sejarah karena keduanya adalah area subjek yang sangat berbeda.

c.       Pelemahan (extincition) dalam pengondisian klasik melibatkan proses          melemahnya stumulus yang terkondisi (CR) dengan menghilangkan atau tidak adanya stimulus yang tidak terkondisi (UCS). Sama halnya dengan siswa yang menjadi gelisah ketika melakukan ujian mulai mendapatkan hasil yang lebih baik pada ujian-ujiannya sehingga kegelisahannya akan berkurang.

2.       Pengkondisian Operan

Pengkondisian operan (Instrumental) adalah suatu bentuk pembelajaran dimana konsekuensi berupa hukuman dan imbalan dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas bahwa perilaku itu akan terjadi. Pencetus dari teori ini adalah B.F. Skinner (1938).

Penghargaan adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa perilaku akan terjadi. Sebagai contoh, anda mengatakan “Selamat, aku benar-benar bangga dengan cerita yang kamu tulis”, jika mahasiswa bekerja keras dan menulis cerita yang lebih baik dari sebelumnya. Penghargaan ini akan meningkatkan probabilitas perilaku menulis mahasiswa tersebut. Sebaliknya, hukuman merupakan konsekuensi yang menurunkan probabilitas perilaku yang akan terjadi. Misalnya, ketika mahasiswa sedang berbicara di depan kelas kemudian dosen mengerutkan dahi, maka pembicaraan mahasiswa ini akan berkurang. Mengerutkan dahi ini dikatakan sebagai hukuman saat siswa itu berbicara.

Bentuk penguatan perilaku ada dua macam, yakni penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif berarti meningkatkan frekuensi respon karena diikuti oleh stimulus yang bermanfaat. Seperti contoh di atas, pujian dari dosen bisa meningkatkan perilaku menulis mahasiswa. Sedangkan penguatan negatif adalah meningkatkan frekuensi respon karena diikuti dengan rangsangan penghapusan hukuman (menyenangkan). Sebagai contoh, seorang ayah mengomel pada anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia terus mengomel. Akhirnya si anak bosan mendengarkan omelan ayahnya dan melakukan pekerjaan rumahnya itu. Respon anak tersebut (mengerjakan PR) merupakan bentuk penghapusan stimulus tidak menyenangkan (omelan).

Dalam pengkondisian operan juga terjadi generalisasi, diskriminasi dan kepunahan yang mirip dengan pengkondisian klasik. Generalisasi dalam pengkondisian operan misalnya terjadi ketika seorang dosen memuji mahasiswanya dalam mata kuliah psikologi pendidikan maka mahasiswa tersebut akan menyama ratakan rangsangan ini untuk melakukan pekerjan yang lebih keras lagi dalam mata kuliah bidang lainnya. Diskriminasi dalam pengkondisian operan terjadi ketika seorang siswa melihat nampan berlabel “matematika” adalah tempat dimana seharusnya dia meletakkan pekerjaan matematika hari ini. Sedangkan nampan yang berlabel “Bahasa Inggris” adalah tempat untuk meletakkan pekerjaan bahasa Inggris hari ini bukan untuk pekerjaan yang lain. Kepunahan dalam pengkondisian operan terlihat ketika seorang mahasiswa mencubit temannya dan dosen segera menegurnya. Jika hal ini terjadi secara teratur maka mahasiswa akan belajar bahwa mencubit temannya merupakan suatu cara untuk mendapatkan perhatian dari dosen. Jika kemudia dosen mengabaikannya, mungkin perilaku mahasiswa tadi akan dihentikan.

Kelebihan pendekatan ilmu perilaku atau behavioristik

1.       Guru akan terbiasa untuk bersikap teliti dan peka saat kondisi belajar mengajar.

2.       Guru lebih sering membiasakan muridnya untuk belajar mandiri, tetapi ketika murid kesulitan baru bertanya kepada guru.

3.       Dapat mengganti cara mengajar (stimulus) yang satu dengan stimulus lainnya hingga mendapatkan apa yang diterima oleh murid (respon).

4.       Dengan teori belajar ini sangat cocok untuk mendapatkan kemampuan yang mengandung unsur-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.

5.       Teori ini bisa membentuk perilaku yang diinginkan. Dengan kata lain, perilaku yang berdampak baik bagi murid diberi perhatian lebih dan perilaku yang kurang sesuai dengan murid perhatiannya dikurangi.

Kekurangan pendekatan ilmu perilaku atau behavioristik

1.       Tidak semua pelajaran dapat memakai teori belajar behavioristik.

2.       Guru diharuskan untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.

3.       Murid cenderung diarahkan untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan memposisikan murid sebagai murid pasif.

4.       Dalam proses belajar mengajar, murid hanya bisa mendengar dan menghafal yang didengarkan.

5.       Murid membutuhkan motivasi dari luar dan sangat bergantung pada guru.

C.      Pendekatan Kognitif Sosial (Social Cognitive)

Istilah kognitif yang kita kenal banyak dipopulerkan oleh Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, namun sebenarnya telah dikembangkan oleh Wilhelm Wundt (Bapak Psikologi). Menurut Wundt (dalam Suyono dan Hariyanto, 2020 : 73) kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt mempercayai bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian disimpan di dalam memori.

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) adalah sebuah istilah baru dalam teori pembelajaran social, istilah ini dikemukakan seorang tokoh bernama Albert Bandura. Albert Bandura lahir pada tahun 1925 di Kanada. Dia menerima gelar doktor pada diskhursus ilmu psikologi klinis dari University of Iowa, di mana pola pikirnya dipengaruhi oleh buku "Social Learning and Imitasi" karya Miller dan Dollard (1941). Nama baru "Teori Kognitif Sosial" digunakan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide utama dari pemikiran Bandura juga merupakan pengembangan dari pemikiran pembelajaran tiruan Miller dan Dollard. (Elga, 2019). Dalam beberapa publikasi, Bandura telah menguraikan proses pembelajaran sosial yang menyangkut faktor kognitif dan perilaku yang mempengaruhi masyarakat dalam proses pembelajaran sosial.

Kognitiv-social ialah sebuah gagasan yang menekankan pendapat bahawasanya mayoritas kegiatan belajar individu berlangsung dilingkungan sosial. Melalui kegiatan mengamati orang lain, individu akan mendapatkan pengalaman, norma, skill, strategi strategis, kepercayaan, dan perilaku. Pesonal Orang juga dapat observasi model atau misalnya untuk menelaah kegunaan dan kesesuaian sikap yang dihasilkan dari perilaku yang dimodelkan, dan setelah itu melakuakan apa yang diyakini oleh mereka dan hasil yang diharapkan dari perilaku tersebut (Dale, 2012).

Dalam pengembangan teory dari Bandura ini, ia menjelaskan cara seseorang mengontrol keajadian dalam kehidupan melalui pikiran dan tindakan yang mengatur diri sendiri. Proses fundamentalnya meliputi penetapan arah tujuan, evaluasi asumsi hasil dari sebuah tindakan, evaluasi kemajuan pencapaian tujuan, dan pengaturan diri terhadap pikiran, emosi, dan tindakan. Bandura menjelaskan bahwa ciri khas lain dari teori kognitif sosial adalah bahwa ia memainkan peran utama dalam pengaturan diri. Perilaku orang tidak hanya menyesuaikan diri dengan kecenderungan orang lain. Sebagian besar perilaku mereka dimotivasi dan diatur oleh standar internal, dan tanggapan mereka terhadap perilaku mereka terkait dengan penilaian diri.

Untuk lebih memahami mengenai pendekatan kognitif sosial, perlu dipahami beberapa hal yang berkaitan dengan kognitif itu sendiri, yaitu :

1.       Teori Belajar Kognitif

Salah satu dari teori belajar yang sering digunakan dalam kegiatan pembelajaran adalah teori belajar kognitif. Teori belajar ini memiliki pengaruh terhadap kegiatan belajar yang akan dilaksanakan. Dengan teori belajar kognitif, maka seorang guru dapat melihat perubahan yang terjadi pada kognitif atau mental seseorang. Oleh sebab itu, tak sedikit para guru yang menggunakan teori belajar ini.

Terdapat banyak pandangan tentang belajar, sehingga muncul berbagai teori  belajar. Antara teori yang satu dengan teori lainnya berbeda-beda dalam mendefinisikan belajar. Teori belajar hadir dan muncul pada dasarnya disebabkan oleh para ahli Psikologi belum puas dengan penjelasan teori-teori yang terdahulu tentang belajar. Di antara teori belajar yang sangat terkenal adalah teori behavior dan teori kognitif.

Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang muncul setelah teori behavioristik. Hadirnya teori belajar kognitif untuk merespon teori belajar behavioristik yang hanya memerhatikan kondisi psikologi saja. Para penemu teori belajar behavioristik beranggapan bahwa kondisi mental yang ada di dalam peset didik tidak bisa diamati. Padahal pada kenyataannya, kondisi mental bisa dikatakan harus diamati saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung.

Jika teori belajar behavioristik mengutamakan adanya stimulus dan respon, maka lain halnya dengan teori belajar kognitif yang tidak hanya memerhatikan stimulus dan respon, tetapi juga mengutamakan adanya perubahan mental dan perilaku, seperti cara peserta didik memahami suatu hal, cara peserta didik berpikir, dan cara peserta didik menggunakan pengetahuannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kognitif adalah berhubungan dengan atau melibatkan kognisi atau berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris.

2.       Fungsi Kognitif

Dikutip dari situs Gramedia, Teori kognitif ini erat hubungannya dengan fungsi kognitif sebagai hasil output dari proses pendekatan kognitif itu sendiri. Fungsi kognitif memiliki sejumlah dampak baik bagi murid yang akan bertahan dalam jangka waktu panjang.

1.       Daya Ingat dan Memori

Membiasakan belajar secara kognitif sama hal nya dengan membiasakan diri berpikir kompleks dan kritis. Dengan begitu sistem saraf secara otomatis akan begitu fokus ketika menyerap informasi dan pengetahuan dalam proses yang cepat, kemudian menyimpannya dalam otak. Dengan menerapkan teori belajar kognitif ini akan mewujudkan daya serap yang cepat dan memiliki memori jangka panjang.

2.       Melejitkan Daya Ingat Anak

Sejak usia dini anak-anak dapat disajikan kegiatan yang dapat merangsang daya ingat mereka dengan metode yang baik. Ini juga akan membantu anak mengasah konsentrasi mereka agar tetap fokus. Melalui pendekatan kognitif dapat membuat para orang tua mampu melihat potensi yang ada pada anak mereka.

3.       Perhatian

Fungsi selanjutnya yakni perhatian, dimana murid dengan pembelajaran kognitif akan mampu menyeleksi rangsangan terhadap bau, suara, gambar dan lainnya yang berhubungan dengan indera dengan baik. Dalam fungsi ini juga murid akan mampu memfokuskan perhatian terhadap rangsangan tersebut dan juga mengabaikannya dalam waktu seketika. Artinya mereka akan sensitif terhadap sekitar dan mampu menyeleksi mana yang perlu difokuskan sehingga dapat memusatkan perhatian pada objek yang penting.

4.       Fungsi Eksekutif

Pada tahap lanjut belajar dengan pendekatan kognitif mampu mewujudkan fungsi eksekutif. Dimana murid akan mampu membuat perencanaan dan mengeksekusinya dengan baik. Melalui pendekatan kognitif, otak yang sudah terbiasa menyerap banyak konsep dan berpikir kompleks serta kreatif akhirnya mampu mewujudkan pribadi yang solutif, mampu melihat peluang dan menyelesaikan permasalahan.

5.       Kemampuan Bahasa

Pendekatan kognitif juga memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa seseorang. Dalam prosesnya murid akan mampu berkomunikasi dengan baik dengan penyesuaian situasi yang baik juga. Selain ini adanya perbedaan kemampuan bahasa setiap orang juga dipengaruhi oleh fungsi kognitif ini. Maka tidak heran apabila ada orang yang mampu menguasai banyak bahasa (polyglot) dengan adaptasi yang baik, serta ada pula yang kesulitan menguasai lebih dari satu atau dua bahasa.

6.       Kemampuan Mengenali dan Merasakan

Kemampuan pengenalan benda-benda sekitar merupakan salah satu pengaruh dari fungsi kognitif yang sudah ada sejak tahap awal anak bertumbuh. Kemudian tingkat pengenalan inipun semakin meningkat hingga dapat membedakan hal-hal yang jauh lebih rumit. Sebab, adanya pendekatan kognitif ini membuat seseorang mampu menyerap segala informasi dengan cepat kemudian melakukan pengamatan hingga akhirnya dapat membedakan benda.

3.       Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif

Beberapa tokoh yang berperan dalam perkembangan teori belajar kognitif (Ahmad Susanto, 2018) sebagai berikut :

1.       Jean Piaget

Jean Piaget bisa dibilang sebagai seseorang yang menemukan psikologi kognitif atau penemu dari teori belajar kognitif. Ia lahir pada tanggal 9 Agustus 1896, di Neuchatel, Swiss. Beliau sangat mengidolakan ayahnya yang merupakan seorang akademisi. Jean Piaget meninggal dunia pada tanggal 16 September 1980. Jean Piaget beranggapan bahwa suatu perkembangan kognitif adalah sebuah proses yang terjadi secara genetik. Oleh sebab itu, proses genetik diyakini berdasarkan dari kondisi biologis seseorang. Dalam hal ini, kondisi biologis dapat dilihat melalui adanya perkembangan atau pertumbuhan yang terjadi pada sistem saraf. Misalnya, seseorang yang bertambah usia, maka susunan susunan sistem sarafnya semakin kompleks, bahkan akan kemampuan yang dimiliki akan semakin bertambah.

Jean Piaget mengatakan bahwa kemampuan berpikir dan kekuatan mental dari seorang anak yang berbeda usia, maka perkembangan intelektual secara kualitatif juga berbeda. Oleh sebab itu, Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif yang terjadi pada seseorang secara kuantitatif ke dalam empat tahap, di antaranya :

a.        Tahap Sensorimotor (Umur 0-2 Tahun)

Tahap sensorimotor adalah tahap kognitif yang terjadi ketika seseorang berumur 0 sampai 2 tahun. Pada tahapan ini seorang anak akan diperhatikan perkembangannya melalui kegiatan motorik dan suatu persepsi yang masih sangat sederhana. Biasanya pada tahapan ini, seorang anak akan melihat suatu objek lebih lama, mencari rangsangan pada sinar lampu atau sumber suara, dan mulai menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk yang berbeda dari objek-objek yang ada di dekatnya.

b.       Tahap Pra-Operasional (Umur 2-7 Tahun)

Tahap pra-operasional adalah tahap kognitif yang terjadi saat seseorang berusia sekitar 2-7 tahun. Pada tahapan kognitif pra-operasional, biasanya dihubungkan dengan adanya penggunaan simbol atau penggunaan bahasa tanda. Selain itu, pada tahapan ini, konsep intuitif seorang anak mulai mengalami perkembangan atau pertumbuhan. Biasanya pengetahuan yang didapatkan berasal dari suatu hal yang bersifat abstrak. Ketika seorang anak memasuki tahap pra-operasional biasanya sudah bisa mengenali ciri dari suatu objek, misalnya ada bola yang berwarna hijau, dapat mengumpulkan benda yang sesuai dengan ukurannya, dan sebagainya.

c.        Tahap Operasional Konkrit (Umur 7-12 Tahun)

Tahap operasional konkrit atau tahapan kognitif ketiga menurut Jean Piaget merupakan tahapan kognitif yang muncul ketika seorang anak berusia 7 sampai 12 tahun. Pada tahapan ini, seorang anak atau peserta didik dianggap sudah bisa mempraktikkan aturan-aturan dengan jelas dan logis. Hal seperti ini biasanya ditandai dengan adanya kekekalan dan reversible pada peserta didik. Tahap operasional konkrit bisa dikatakan sebagai suatu tahapan kognitif yang di mana seorang anak sudah bisa mengelompokkan, mengklasifikasikan suatu masalah. Alangkah baiknya, ketika seorang anak sudah memasuki tahapan ini diberikan contoh suatu hal yang jelas dan logis supaya dapat menelaah suatu permasalahan dengan baik.

d.       Tahap Operasional Formal (Umur 11-18 Tahun)

Tahap operasional formal ini muncul ketika seorang anak atau peserta didik sudah berusia 11-18 tahun. Di tahapan kognitif ini, seorang anak sudah terlihat memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis dan abstrak dengan menggunakan sebuah konsep berpikir “kemungkinan”. Pada tahap ini bisa dikatakan muncul ketika seorang anak sedang memasuki usia pubertas. Pada umumnya, seorang anak yang sudah memasuki tahap kognitif operasional formal sudah bisa merasakan hal-hal, seperti cinta, suatu nilai (baik atau buruk), serta tidak melihat suatu hal dalam bentuk hitam dan putih.

2.       David Ausubel

David Paul Ausubel lahir pada tanggal 25 Oktober 1918 dan dibesarkan di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Ia merupakan seorang psikolog dan berkontribusi terhadap psikologi pendidikan, ilmu kognitif, dan berperan dalam pembelajaran pendidikan sains yang terjadi pada pengembangan dan penelitian tentang Advance Organizer. Beliau meninggal dunia pada tanggal 9 Juli 2008.

Konsep teori kognitif David Ausubel mengutamakan kegiatan pembelajaran yang bermakna. Ia membagi “belajar yang bermakna” ke dalam dua jenis, yaitu belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar menghapal (rote learning).

a.        Belajar Bermakna (Meaningful Learning)

Dalam hal ini, belajar yang bermakna dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar yang di mana informasi baru selalu dikaitkan dengan suatu pemahaman yang sudah dimiliki oleh seseorang yang sedang belajar.

b.       Belajar Menghapal (Rote Learning)

Belajar menghapal adalah suatu kegiatan yang di mana peserta didik berusaha untuk menerima dan memahami suatu materi pembelajaran yang telah diberikan oleh gurunya atau dari materi pembelajaran yang dibacanya, seperti buku. David Ausubel beranggapan bahwa suatu kegiatan pembelajaran baru akan bermakna, jika guru dapat mengombinasikan konsep, prinsip, dan informasi verbal dengan baik. Dengan kata lain, proses belajar yang hanya dilakukan dengan menghapal saja tak akan mampu membuat kegiatan pembelajaran menjadi bermakna. Oleh sebab itu, supaya proses belajar bisa bermakna, maka seorang guru wajib untuk mampu mempresentasikan hal-hal apa yang perlu dipelajari oleh peserta didik. Sementara itu, peserta didik harus berusaha untuk memahami apa yang diberikan oleh guru.

3.       Jerome Bruner.

Tokoh berikutnya yang berperan dalam perkembangan teori belajar kognitif adalah Jerome Seymour Bruner atau lebih dikenal dengan nama Jerome Bruner. Ia lahir di New York City, Amerika Serikat pada tanggal 1 Oktober 1915. Jerome Bruner meninggal dunia pada tahun 2016. Ia lulus dari Universitas Harvard dan mendapatkan gelar Doktor. Setelah itu, Jerome melakukan penelitian terhadap persepsi dan pembelajaran.

Jerome Bruner mengatakan bahwa seorang guru harus bisa untuk memberikan kesempatan pada peserta didiknya agar bisa menjadi seorang yang bisa menyelesaikan suatu masalah, seorang yang cerdas, seorang yang menyukai sejarah, seorang yang pandai dalam bidang matematika, dan sebagainya. Dalam pandangan Jerome Bruner proses belajar sangat dipengaruhi dengan adanya pengaruh kebudayaan terhadap perilaku peserta didik.

Selain itu, Jerome Bruner juga membagi perkembangan kognitif menjadi 3 tahap atau model, yaitu :

a.        Tahap Enaktif

Tahap enaktif adalah tahap kognitif yang di mana seseorang sudah bisa melakukan berbagai macam aktivitas agar bisa memahami suatu lingkungan yang ada didekatnya. Misalnya, peserta didik mampu untuk menendang bola, tetapi tidak mampu untuk menggumpalkan atau menggambarkan kegiatan itu lewat kata-kata.

b.       Tahap Ikonik

Tahap ikonik adalah tahap kognitif ketika seseorang sudah mengerti berbagai jenis objek atau “dunianya” dengan melihat gambar-gambar atau visualisasi verbal. Pada tahap kognitif ini seseorang akan memahami suatu hal melalui suatu perumpamaan atau perbandingan. Misalnya, peserta didik sudah memiliki gambaran tentang mobil yang sedang berjalan, tetapi mereka belum bisa mengungkapkan dalam sebuah susunan kalimat.

c.        Tahap Simbolik

Tahap simbolik adalah tahap kognitif ketika seseorang sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan atau ide-ide yang sifatnya abstrak dan biasanya akan dipengaruhi dengan kemampuan yang dimilikinya, seperti kemampuan bahasa dan kemampuan logika.

D.      Aplikasi dalam Pembelajaran di Sekolah

1.       Aplikasi Pendekatan Ilmu Perilaku (Behavioristik)

Aplikasi pendekatan tingkah laku/ behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar.

Dalam upaya penerapan pendekatan tingkah laku (Behavioristik) dalam pembelajaran di sekolah, Wasty Soemanto (2020) dalam bukunya mengemukakan metode untuk mengembangkan pola tingkah laku baru :

1.       Shaping, didefinisikan sebagai pengembangan perilaku baru dengan memberikan reinforcement pada setiap perkembangan dari perilaku yang menyerupai target perilaku yang sudah ditetapkan. Proses ini dimulai dengan penetapan tujuan, analisis tugas, langkah-langkah kegiatan murid, dan reinforcement  terhadap proses yang diinginkan.

2.       Modelling, adalah suatu bentuk belajar yang tidak dapat disamakan dengan classical conditioning maupun operant conditioning. Dalam modelling, seseorang yang belajar mengikuti kelakuan orang lain sebagi model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modelling atau imitasi dari pada melalui pengajaran langsung.

Wasty Soemanto (2020) dalam bukunya juga mengemukakan prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku, diantaranya adalah :

1.       Memperkuat tingkah laku bersaing

2.       Ekstingsi, dilakukan dengan membuang atau meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku.

3.       Satiasi, adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah sendiri atau jera.

4.       Perubahan lingkungan stimuli. Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimulis yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh diluar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas sulit mengecewakan murid, maka guru dapat menggantinya dengan tugas yang kurang begitu sulit.

5.       Hukuman. Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.

Implementasi prinsip Behavioristik dalam mendesain suatu pembelajaran (Mursyidi, 2019) adalah sebagai berikut :

1.       Siswa harus diberitahu secara eksplisit outcome belajar sehingga mereka dapat mensetting harapan-harapan mereka dan menentukan apakah dirinya telah mencapai outcome dari pembelajaran online atau tidak.

2.       Pembelajar harus diuji apakah mereka telah mencapai outcome pembelajaran atau tidak. Tes dilakukan untuk mencek tingkat pencapaian pembelajar dan untuk memberi umpan balik yang tepat.

3.       Materi belajar harus diurutkan dengan tepat untuk meningkatkan belajar. Urutan dapat dimulai dari bentuk yang sederhana ke yang kompleks, dari yang diketahui sampai yang tidak diketahui dan dari pengetahuan sampai penerapan.

4.       Pembelajar harus diberi umpan balik sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana melakukan tindakan koreksi jika diperlukan

Kegiatan penguatan dalam pembelajaran dikelas bisa dilaksanakan dengan memberikan pengulangan-pengulangan yang ingin ditampilkan oleh siswa dalam proses pembelajaran diantaranya :

1.       Tentukan perilaku apa saja yang anda inginkan dari siswa dan berikan penguatan ketika perilaku itu terjadi. Contohnya, memberikan pujian atau imbalan untuk pekerjaaan yang baik, jangan berikan pujian atau imbalan untuk pekerjaan yang belum mereka kuasai.

2.       Sampaikan kepada siswa perilaku apa saja yang anda inginkan, jika mereka memperlihatkan perilaku tersebut maka anda akan memberikan penguatan serta sampaikan kepada mereka alasannya. Contohnya berikan kriteriakriteria khusus yang akan anda gunakan dalam menilai pekerjaan mereka, dan sertakan bobot nilai untuk masing-masing kriteria tersebut. Siswa akan bisa menilai dimana letak kemampuan dan kelemahan mereka.

3.       Perkuat perilaku yang tepat sesegera mungkin setelah hal itu terjadi. Contohnya ketika anda memberikan tugas dan berikanlah nilai sesegera mungkin karena penguatan yang tertunda akan kurang efektif. Siswa harus mengetahui bagaimana kinerja mereka dalam proses pembelajaran.

2.       Aplikasi Pendekatan Kognitif Sosial (Social Cognitive)

Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Konsep utama teori Bandura bahwa walaupun belajar observasional terjadi secara independen dari penguatan tidak berarti bahwa variabel lainnya tidak memengaruhinya. Bandura menyebutkan bahwa terdapat empat proses yang saling berhubungan dalam penerapan modeling dalam belajar (Nelly Marhayati, 2020) yaitu :

1.       Proses Atensional (Perhatian)

Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat. Proses belajar akan semakin efektif jika perhatian semakin besar. Pada umumnya siswa akan memberikan perhatian pada panutan yang memikat, berhasil, menarik, dan populer.

2.       Proses Retensional (pengingatan)

Individu tidak akan mendapat pengaruh lebih banyak dari mengamati perilaku seorang model, jika seseorang tersebut tidak mengingatnya. Bandura berpendapat bahwa ada proses retensional di mana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinatif dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan lama sesudah belajar observasional terjadi (Tarsono, 2018)

3.       Proses Reproduksi (Pembentukan Perilaku)

Untuk mencapai proses pembentukan perilaku, peserta didik harus mengumpulkan serangkaian respon yang diberikan sesuai dengan pola model. Proses pembentukan perilaku menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa

4.       Proses Motivasional

Menurut Bandura, proses keempat, yang mempengaruhi pembelajaran observasional adalah motivasional, karena orang cenderung lebih terlibat dalam tiga proses sebelumnya, (perhatian, pemertahanan, produksi) untuk tindakan-tindakan model yang dianggap penting. Pada proses ini, Para siswa harus termotivasi untuk menunjukkan tindakan model. Motivasi, adalah adanya dorongan-dorongan dan alasan-alasan tertentu yang mendorong siswa melakukan peniruan. Motivasi mencakup dorongan dari dalam, dari luar, dan penghargaan terhadap diri sendiri. Motivasi merupakan sebuah proses pembelajaran observasional yang penting yang diusahakan guru dengan berbagai cara.

Supaya seorang guru lebih mudah untuk menerapkan pendekatan kognitif sosial dalam kegiatan pembelajaran, maka di bawah ini akan diberikan contoh kegiatan pembelajaran dengan metode kognitif.

1.       Bagi seorang guru, sebaiknya meminta kepada peserta didik untuk menggambarkan pengalaman yang telah mereka lewati, kemudian dituangkan ke dalam bentuk kalimat. Misalnya, menceritakan pengalaman ketika liburan sekolah.

2.       Memberikan bantuan kepada peserta didik ketika sedang menghadapi suatu masalah, dengan cara memberikan solusi-solusi dan menumbuhkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis.

3.       Membantu peserta didik untuk memaksimalkan ide-ide atau gagasan-gagasannya agar dapat terwujud.

4.       Mengajak para peserta didik untuk membiasakan diri melakukan diskusi. Seorang guru dapat melakukan hal ini dengan cara memberikan kepada peserta didik untuk menyampaikan materi pembelajaran, kemudian peserta didik lainnya memberikan pertanyaan.

5.       Seorang guru dapat meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik dengan cara membuat permainan atau menyampaikan materi pembelajaran menggunakan visualisasi gambar.

6.       Selalu memotivasi peserta didik dan tidak terlalu memfokuskan kegiatan belajar pada hapalan saja. Hal ini perlu dilakukan agar menciptakan kegiatan belajar yang bermakna.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menerapkan teori kognitif dalam proses belajar mengajar.

1.       Pembuatan materi pembelajaran harus disusun dengan pola atau logika sederhana dan kompleks.

2.       Siswa bukanlah orang dewasa yang sudah mengerti dan mudah dalam berpikir. Oleh karena itu, guru harus memberikan pengarahan sesuai dengan usia murid atau peserta didik.

3.       Setiap kegiatan pembelajaran harus memiliki makna.

4.       Agar keberhasilan murid tercapai maka guru perlu mengamati perbedaan yang ada pada setiap murid.

 

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, dapat dibuat kesimpulan, yaitu: Pertama, Pendekatan perilaku atau behavioristik merupakan pendekatan belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil dari interaksi stimulus dan respon. Sedangakan pendekatan kognitif sosial merupakan merupakan pendekatan yang memfokuskan faktor kognitif dan perilaku peserta didik dalam proses pembelajaran sosial dengan tujuan mengutamakan adanya perubahan mental dan perilaku dari peserta didik sendiri.

Kedua, aplikasi pendekatan ilmu perilaku atau behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal, seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa. Sedangkan pengaplikasian pendekatan kognitif sosial dapat dilakukan dengan empat macam cara yaitu Proses Atensional (Perhatian), Proses Retensional (pengingatan), Proses Reproduksi (Pembentukan Perilaku), dan Proses Motivasional

 

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Rizka dan Ahmad Nur Fadholi. 2018. Teori Behavioristik. Sidoarjo:  Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Dale. H. Schunk. 2012. Learning theoris. An education perspektif. edisi ke enam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Elga Yanuardianto.  2019. Teori Kognitif Sosial Albert Bandura, Studi Kritis dalam Menjawab Problem Pembelajaran di MI. Jurnal Auladuna: Vol. 1, No. 2, Oktober.

Fathurrohman, Muhammad. 2018. Mengenal Lebih Dekat Pendekatan dan Model Pembelajaran Membuat Proses Pembelajaran Lebih Menyenangkan dengan Pengelolaan yang Bervariasi. Yogyakarta : Kalimedia.

https://www.gramedia.com/literasi/teori-belajar-kognitif/

https://www.endtalks.com/2021/07/implementasi-pendekatan-sosial-kognitif.html

Lefudin. 2014. Belajar Dan Pembelajaran. ttp: Budi Utama.

Marhayati, Nelly, Pasmah Chandra, dan Monna Fransisca. 2020. “Pendekatan Kognitif Sosial pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam” dalam DAYAH: Journal of Islamic Education Vol. 3 No. 2

Mulyadi, Seto. dkk. 2020. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Teori-teori Baru dalam Psikologi. Depok : PT. Raja Grafindo Persada

Mursyidi. 2019. Kajian Teori Belajar Behaviorisme dan Desain Instruksional, Al Marhalah Jurnal Pendidikan Islam P-ISSN 0126-043X Volume. 3, No. 1 Mei 2019 E-ISSN 27162- 400,

http://journal.almarhalah.ac.id/index.php/almarhalah/article/view/30/29.

Namora Lumongga dan Hasnida. 2016. Konseling Kelompok. Jakarta : Kencana.

Reira Litalisdiana. 2016. Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pendidikan Dasar Kelas II SDN Panggang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Soemanto, Wasty. 2020. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta

Susanto, Ahmad. 2018. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta. Kencana

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate